Pada pucuknya malam tiada berbintang. Seorang pria menceramahi para hantu yang duduk menunduk di pepohonan gelap.
Jari tangannya menunjuk-nunjuk udara kelam di antara tumbuhan raksasa. Ia duduk bersila pada tempat paling tak tercapai oleh bahkan cahaya bohlam dengan daya terbesar.
Tempat gelap itu berada di halaman belakang mes Turangi, milik sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Hutan lebat tidak tembus sinar paling kuat.
Administratur --yang mengepalai kebun sawit, perumahan karyawan, dan mes-- mengundang pria yang dipercaya mampu mengatasi benturan antara manusia dengan hantu. Banyak orang telah mengatakan tentang kesaktian pria itu dalam menangani hantu nakal.
Theo. Nama pria berpenampilan bersih bak bintang film itu adalah Theo. Entah apa nama lengkapnya. Orang-orang memanggil, Theo.
Tadinya, pria berusia empat puluhan itu awak pembuatan serial televisi "Pemburu Hantu ", yang telah dihentikan penayangannya oleh penguasa.
Punya posisi hebat. Boleh disebut, sangat dekat dengan sutradara. Bertanggung jawab atas teknik fotografi dalam produksi satu film. Jabatan pria berkepala plontos tersebut adalah pengarah fotografi, atau DOP (director of photography).
Ia berperan penting dalam penentuan dan pemilihan jenis kamera, lensa, format film, dan pencahayaan. Keahlian yang membuatnya disebut kepala suku dari para kameraman.
Theo bertanggung jawab untuk urusan terkait visual film seri tersebut. Selama bekerja dengan pembuatan film tentang pemburuan hantu, mau tidak mau Theo juga berinteraksi dengan para pemain.
Dari pemeran itulah ia mendapatkan ilmu sehubungan dengan cara-cara memburu makhluk tak kasat mata. Mengusir penghuni dunia lain. Mengatasi masalah dengan hantu.
Setelah dilarangnya tayangan hantu-hantuan, di banyak waktu luang Theo menajamkan kemampuan spiritual tersebut. Kian lama kian mahir, sehingga namanya dalam bidang perhantuan makin berkibar.
Tenar menanggulangi persoalan hantu, maka Theo berada di Turangi.
Ia diminta oleh administratur kebun sawit untuk memburu dan mengusir hantu yang kerap mengganggu warga sekitar. Mereka sangat meresahkan, membuat gaduh, dan menciptakan ketakutan bagi sebagian pihak.
Pada malam paling kelam, tiada satu bintang berani mengganggu kesungguhan Theo membaca mantra. Tak lama, pria itu menceramahi para hantu yang duduk di pepohonan. Tentu saja, orang biasa tidak bakal mampu melihat para hantu yang menunduk layu dan pucat pasi.
Dengan kemampuan mumpuni, berhasil mengendalikan para hantu yang sedang menunduk mendengarkan nasihat Theo secara saksama.
Tidak semua. Ada sebagian yang misuh-misuh kepanasan berkat bacaan membakar, lalu menyingkir dengan cepat dan terbang menuju langit.
Pada malam perburuan hantu, beberapa warga yang masih bangun menyaksikan hantu kabur. Di kejauhan tampak beberapa sosok berwarna biru terang berkelebat seolah melayang. Kemudian mereka mengangkasa.
Pencapaian yang makin membuat Theo tenar. Administratur melaporkan kemajuan secara rinci kepada Direktur di kantor pusat.
Direktur di kantor pusat memiliki pemikiran lain, "Undang ia ke sini. Dampingi!"
"Siap, pak Bos."
Meskipun dengan tiket mahal, admistratur membawa Theo naik pesawat paling pagi dari maskapai penerbangan terbagus.
Tiba di kota besar, mereka disambut gembira oleh Direktur. Dalam jamuannya di sebuah hotel mewah, pak direktur membeberkan rencananya kepada Theo yang kemudian menyimak dengan cermat.
Setelah cukup istirahat, pada pucuk malam ketika bintang enggan muncul, Theo diantar oleh Direktur dan Administratur berangkat menuju lokasi dimaksud.
Tiba di tempat dituju, bukan kegelapan yang didapat, melainkan dunia cemerlang terang benderang meliputi.
Sebuah rumah megah, sangat besar dan mewah, terlihat bermandikan cahaya yang lebih menyilaukan daripada sinar matahari.
Suara Theo tertahan. Bertanya kepada Direktur, "Rumah siapa?"
Direktur mendekatkan bibirnya ke kuping orang pintar itu. Membisikkan sesuatu.
"Hah ...???Â
"Iya! Itu tempat sosok meresahkan, pembuat gaduh, dan pencipta ketakutan bagi sebagian pihak. Kurang menyeramkan apa?"
Tanpa menunggu aba-aba, Theo berbalik hendak melangkah pergi. Wajahnya muram. Ketakutan.
"Aku bisa celaka. Tidak mau ah, dibayar berapa pun!"
Direktur penasaran, "Kenapa?"
Tanpa berpaling, Theo berkata ketus, "Aku tidak mau bermain-main dengan raja jawa!"
"Dasar bahlul!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H