Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Bukan Local Heroes, Hanya Melariskan dan Memberi Sugesti

16 Agustus 2024   10:08 Diperbarui: 16 Agustus 2024   10:11 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara waktu berolahraga jalan kaki pagi, tidak jarang saya mengunjungi penjual kopi atau penjaja makanan kelompok usaha mikro. Bukan ke setarbak, mekdi, keefsi, dan semacamnya.

Pertimbangannya, merasa tidak rela bila mengeluarkan terlalu banyak uang demi secangkir kopi dan sepotong kenikmatan. Juga, muncul letupan kecil dalam dada untuk turut menggerakkan perputaran usaha kecil.

Kadang terpikir, berapa sih turn over usaha mereka? Mungkin 500 ribu, 300 ribu, bahkan di bawah seratus ribu per hari. Lantas, berapa yang bisa dibawa pulang setelah dipotong modal?

Pikiran-pikiran sederhana bukan sekelas analisis ekonom kemudian menyeret kaki ke lapak. Duduk. Memesan kopi dan mencomot penganan.

Seruput kopi (dokumen pribadi)
Seruput kopi (dokumen pribadi)

Sesekali makan nasi dengan lauk sederhana, bila kebetulan mampir ke warung yang juga menjual makanan berat.

Sesungguhnya di rumah sudah minum kopi atau teh. Sudah pula sarapan agar bertenaga ketika beraktivitas jalan kaki. Namun, tetap saja menyempatkan diri mampir ke lapak kecil.

Tujuannya bukan sekadar ingin minum kopi atau meredam perut lapar. Bukan.

Mie goreng dengan dadar telur (dokumen pribadi)
Mie goreng dengan dadar telur (dokumen pribadi)

Paling tidak, ada 5 maksud yang hendak dicapai dengan mengeluarkan uang untuk jajan di warung kecil, yaitu:

Pertama, sedikit banyak turut membantu memutarkan usaha. Di dalam harga kopi, penganan, dan nasi rames terdapat unsur modal, overhead (kendati mereka umumnya tidak menghitungnya), dan keuntungan.

Pada masa lampau saya pernah berada di posisi mereka. Sangat berharap barang dagangan terjual habis, minimal laku setengahnya. Bila habis, mendapatkan keuntungan menyenangkan. Jika laku separuhnya, penjual bisa ikut "makan."

Kedua, memberikan masukan-masukan kepada penjual. Saya sempat sekian lama menjalankan bisnis kuliner, dari ukuran kecil hingga restoran kapasitas duduk 250 orang.

Saya sampaikan pengalaman dan pengetahuan yang masih menempel di kepala kepada mereka. Tentang menjaga kualitas, "menciptakan ciri khas" (produk, pelayanan, tempat, dan lainnya) sebagai daya tarik, rasa makanan (saya memberikan kritik dan masukan bila masakan terasa kurang pas), dan sebagainya.

Ketiga, menularkan semangat berusaha. Tidak jarang penjual merasa resah akibat kenaikan harga-harga, sepi pembeli, dan penurunan daya beli.

Bahwa sebuah lapak sepi pembeli karena perpaduan beberapa hal. Meliputi rasa, harga, pilihan produk, hingga kondisi ekonomi.

Kecuali terkait keadaan ekonomi makro, saya memberikan saran perbaikan sesuai pengetahuan. Paling penting, memberikan dukungan doa dan semangat berusaha bahwa satu ketika dagangan laris.

Keempat, memberikan sugesti. Saya merasa ini agak berlebihan. Dalam beberapa kali kesempatan mampir di penjual kopi atau penjual penganan, saya memberi sugesti terutama pada penjual "baru" yang bukan kawakan.

Menyugesti mereka bahwa saya adalah pelaris (penglaris). Kepada mereka mengatakan, saya adalah pembawa keberuntungan. Setelah kedatangan ini, nantinya akan akan ada pembeli lain berdatangan.

Apakah sugesti itu bekerja atau tidak, saya belum pernah mengujinya. Namun, ini menjadi semacam "mantra" yang memberikan dorongan atau menggerakkan hati bahwa usaha penjualan akan mencapai hasil diinginkan.

Kadang saya mesti sok tau dan berbuat tak masuk di akal, demi memberikan dorongan semangat berusaha. Tidak lebih. Sekali lagi, saya pernah di posisi penjual yang membutuhkan keyakinan (kata orang pandai, mindset).

Kelima, merupakan kepentingan pribadi. Selama ngopi atau makan di lapak, saya mendapatkan pengalaman-pengalaman menarik yang kemudian dituliskan di Kompasiana.

Secara tidak langsung, saya mendapatkan inspirasi menulis dengan nongkrong, mungkin lebih dari setengah jam, di penjual kopi atau penjaja makanan kelompok usaha mikro. Salah satu contoh, artikel ini... hehehe.

Sepiring nasi lauk sederhana (dokumen pribadi)
Sepiring nasi lauk sederhana (dokumen pribadi)

Beberapa kali saya mampir ke warung kecil setelah olahraga jalan kaki untuk minum kopi, membeli penganan, bahkan makan berat.

Bukan sebab belum ngopi atau sarapan, melainkan untuk tujuan-tujuan melariskan dagangan, memberikan masukan dan kritikan, menyemangati, menyugesti, dan menemukan inspirasi menulis.

Langkah kecil yang tidak memerlukan biaya besar. Cukup mengeluarkan uang Rp3.000 hingga Rp15 ribu.

Maka, tidak patut disebut local heroes, yang memberikan layanan sukarela dengan semangat kebersamaan tanpa berharap penghargaan. Bukan pula individu yang berkorban dan melakukan tindakan yang berpengaruh positif terhadap komunitas atau kehidupan orang lain.

Saya bukanlah local heroes. Kegiatan dilakukan hanya untuk melariskan dagangan dan memberi sugesti pengusaha skala mikro, selain ada kepentingan pribadi berupa pencarian inspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun