Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Perlukah Merintis Usaha, Sementara Masih Ngantor?

9 Agustus 2024   07:08 Diperbarui: 9 Agustus 2024   09:03 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerobak tahu gejrot (dokumen pribadi)

Seorang pria menitipkan gerobak di halaman rumah. Pukul setengah delapan ia mengambil lalu meletakkannya di semacam food court di seberang rumah.

Di sana ada toko menjual kopi seduh, mi instan matang, dan kebutuhan sehari-hari, Juga ada penjual soto, gorengan, sempol ayam, dan tahu gejrot.

Tahu gejrot(KOMPAS.com/Heni Pridia)
Tahu gejrot(KOMPAS.com/Heni Pridia)

Penjual olahan khas Cirebon itu berdagang kira-kira baru sebulan. Agar usaha berjalan, ia merekrut karyawan untuk melayani pembeli.

Pria tersebut tidak bisa menjaga lapak seharian, karena masih bekerja sebagai pegawai di sebuah kantor cabang BUMN tidak jauh dari lokasi food court.

Pekerja aktif yang bekerja kantoran sedang merintis usaha. Belum diketahui persis, apakah ia sekadar coba-coba atau serius berencana membangun kegiatan wirausaha untuk masa depan.

Kegiatan itu mengingatkan saya pada keadaan beberapa tahun lalu: ngantor sambil merintis usaha atau merintis usaha, sementara masih ngantor.

Ada beragam pilihan usaha tergantung minat dan peluang. Tinggal menentukan, jenis usaha apa yang paling mungkin dijalankan.

Mumpung masih ingat, melalui artikel ini saya membagikan kiat-kiat merintis usaha sementara masih aktif bekerja. Sebelum memutuskan merintis usaha yang bisa dilakukan, saya menimbang beberapa hal sebagai berikut:

1. Merancang konsep usaha yang jelas, terukur, dan masuk akal. Usaha akan dijalankan bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan berdasarkan pertimbangan matang.

2. Menghitung dan merencanakan kegiatan, sekalipun yang paling sederhana.

3. Siap membelanjakan waktu lebih dan menghadapi tantangan penuh tidak kepastian. Konsekuensi usaha cuma ada dua: mendapatkan laba dan menderita rugi.

Usaha merupakan kegiatan penuh risiko. Selama proses pembentukannya, tak ada usaha yang tidak merugi. Maka sebagian penghasilan tetap dari kantor dalam skala tertentu digunakan untuk menutup kerugian. 

4. Mempersepsi peluang yang sangat mungkin ditangani. Kurang lebih begini, usaha direncanakan berada dalam jangkauan penanganan dan pengawasan.

5. Menyediakan inisiatif, effort, dan waktu tersendiri dalam merintis usaha. Tidak seperti bekerja kantoran, yang umumnya memiliki deskripsi pekerjaan sudah jelas.

6. Pada satu keadaan tertentu, siap meninggalkan zona nyaman dengan penghasilan tetap lalu beralih ke kegiatan yang penuh tantangan.

7. Penting membicarakan kemungkinan-kemungkinan di atas dengan pasangan hidup. Jika masih bujangan, berkonsultasilah dengan kenalan yang berpengalaman atau dituakan.

***

Melalui rangkaian pemikiran di atas --kendati lupa urutannya-- saya merintis kegiatan usaha sejak masih bekerja di satu perusahaan. Dari pengadaan barang hingga kontraktor untuk pekerjaan pemerintah.

Catatan: usaha kuliner yang pertama kali diambil adalah karena kepepet. Menjalankannya demi bertahan hidup, berhubung kegiatan usaha kantor tempat saya bekerja ambruk, sebagai dampak krisis moneter yang berlanjut ke Gerakan Reformasi 1998.

Bagaimanapun, merintis usaha tidaklah semudah teori. Ada saat-saat ia mengalami masa paceklik sebelum benar-benar dapat dipanen. Kapan panen? Waktu dan pengalaman yang akan menjelaskannya.

Ketika kegiatan usaha tersebut berhasil melewati masa turbulensi, saya meninggalkan zona nyaman. Meninggalkan penghasilan tetap, menceburkan diri di gelombang lautan usaha dan berupaya menyembulkan kepala di permukaan agar tetap bernapas.

Kemungkinan buruk "tenggelam" beberapa kali teratasi dengan "belajar" usaha, ketika masih memiliki penghasilan tetap.

Menurut hemat saya, tidak ada salahnya merintis usaha saat masih berkantor dan berada di zona nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun