Knalpot motor mengorkestrasi polemik meong-meong dengan petok-petok. Gaduh. Bikin sakit kepala. Bising pada pagi yang sangat sibuk di dalam gang.
Pagi yang sibuk. Pagi sangat sibuk mendorong matahari beringsut dari pelukan malam. Sang surya kemudian sibuk mengucek mata demi mencarkan sinar.
Cahaya pun berlompatan. Sibuk berlarian. Menerobos langit menghangatkan permukaan bumi. Hangat dan kian menyengat.
Sebelum cuaca terlalu panas, belum juga hidangan sarapan habis, Rudolfo berpindah. Sibuk di dapur mengambil botol isi bubuk kopi di lemari lalu menjerang air.
Kembali ke meja makan, menuang satu setengah sendok teh bubuk kopi. Lupa gula.
Beranjak lagi. Sibuk mencari tempat gula. Mengaduk-aduk lemari. Belum kembali ke tempat semula. Ternyata ada di dekat kompor.
Rudolfo menambahkan satu sendok teh gula. Teko bersiul, menjerit menyatakan bahwa air memberontak.
Kini lengkap sudah bahan pembuat kopi seduh. Rudolfo mengaduk lantas menyeruput larutan kopi di sendok teh, dan meneruskan acara makan yang sempat tertunda.
Ah iya, sepeda motor belum dipanaskan. Rudolfo bersicepat ke garasi. Sibuk menstarter mesin masih mengantuk. Tangan bleyer-bleyer gas. Sontak ruang bakar memuntahkan endapan kerak melalui knalpot brong.
Tetangga mengumpat, "woooy..., berisik tauk!!!
Kembali ke meja makan menghabiskan hidangan. Seruput kopi. Sibuk menyiapkan baju ganti, ambil handuk, pergi ke kamar mandi. Telanjang. Jebar-jebur.
Sekeluarnya, jam dinding mengatakan bahwa waktu santai hampir habis. Saatnya berangkat kerja.
Rudolfo berkemas. Sibuk. Sangat sibuk. Melupakan piring yang harus diletakkan di tempat cucian. Lupa menghabiskan kopi tubruk di meja. Ia harus berangkat ke kantor.
Lompat. Lari menuju garasi. Menunggang motor lalu mengarahkannya ke depan. Melupakan pintu tidak dikunci. Handel gas diputar habis. Mesin meraung.
Motor standing menyisakan karbon mono oksida. Meninggalkan suara dentaman. Melindas ayam. Bulu-bulu sayap tercerabut beterbangan ke udara. Unggas malang berlari ketakutan menerjang kucing-kucing sedang kawin.
Knalpot motor mengorkestrasi polemik meong-meong dengan petok-petok. Gaduh. Bikin sakit kepala. Bising pada pagi yang sangat sibuk di dalam gang.
Sekali lagi tetangga memaki, "diaaaampuuuut....!!!! (serapah gaya arek Malang).
Rudolfo tidak perduli. Mengabaikan kekacauan. Pikirannya hanya satu: jangan sampai telat masuk kantor.
Sepeda motor ngepot memasuki jalan besar. Mesin berteriak kepayahan. Putaran roda kian kencang. Makin kencang sehingga angin menerpa wajah dan rambut. Berkibar-kibar.
Rudolfo lupa mengenakan helm keselamatan, "ya sudahlahku, aku harus segera sampai. Persetan dengan semuanya!"
Setan yang sedang mengobarkan api neraka mengomel, "dasar setan alas! Gue kok disalahin?"
Pikiran Rudolfo tertuju kepada kecepatan. Ia mencambuk motor agar lari secepatnya. Tidak perduli mesin menangis histeris menghamburkan seluruh kekuatannya.
Pada satu perempatan, terlihat keadaan yang berpotensi melambatkan perjalanan. Bila mematuhi aturan, waktu akan menjadi melar. Lebih dari 100 detik.
Tidak mau menunggu, Rudolfo sedikit menggoyang setang ke kiri. Menyusuri jalur tepi, masuk ke ruas di sebelah kiri darinya.
Rencana cepatnya, langsung putar balik ke kanan memasuki ke jalan yang ia tuju di seberang. Dengan itu Rodolfo bisa mengangkangi lampu lalu lintas.
Tidak selamanya rencana berjalan mulus. Ketika berbelok ia memotong hidung sebuah mobil. Kaki pengemudinya sigap mengerem, tangan menekan tombol klakson sejadi-jadinya, mulut mengumpat.
Rem mendadak membuat kendaraan di belakang tidak sempat bereaksi. Demikian pula kendaraan di belakangnya lagi.
Maka di antara pertikaian klakson sekalian umpatan, terdengar suara benturan kaleng lawan kaleng secara berturut-turut. Asap putih menyembul dari kap mesin yang menekuk.
Untungnya Rudolfo selamat dari musibah. Ia menoleh sejenak. Tancap gas. Sumpah serapah menggema dalam kekacaun.
Laju motor makin kencang. Kian kencang. Pokok-pokok pohon di kiri kanan berkelebatan. Aspal mulus telah memudahkan segalanya. Pikiran Rudolfo hanya tertuju kepada satu hal: jangan sampai telat masuk kantor.
Tinggal melewati jalan layang di depan sana, belok kanan setelah melampaui sekian ratus meter berikutnya, maka Rudolfo bakal sampai halaman parkir kantor. Dengan itu ia tidak akan terlambat.
Namun sebuah keadaan darurat membuat Rudolfo terlambat bereaksi. Sebuah truk mogok tepat berada pada turunan setelah puncak flyover.
Tanpa sempat mengerem Rudolfo menghindari benturan keras dengan pantat truk. Motor sedikit oleng arah kiri. Hampir berhasil, tetapi ujung setang... hanya satu senti... menyentuh ujung bak truk.
Motor menggelosor menumbur roda belakang truk. Hancur. Rudolfo terpental. Terbang melewati pagar beton pembatas jalan layang. Melayang-layang perlahan di udara bagai adegan gerak lambat.
Para malaikat yang sedang ngopi sambil nongkrong pada gundukan awan sejenak menengok ke bawah.
Satu malaikat membuka catatan dan memeriksa, "o iya, memang sudah waktunya."
Ia menyeruput habis kopi seduh tidak diaduk. Mengembangkan sayap di kiri kanan, lalu meluncur ke bawah. Makhluk serba putih keperakan mendekati Rudolfo.
Pria yang sedang mengayun-ayunkan kedua lengan agar tidak segera jatuh menghantam aspal mengucap, "aduh, jangan sekarang. Tolong, janganlah! Aku belum siap."
Malaikat bergeming. Namun ia memberikan sedikit kesempatan, "Tenang. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri.... Beberapa sekon."
Pia itu sempat berlega hati, tetapi sejenak berikutnya ia tampak sibuk. Sangat sibuk. Sibuk yang belum pernah ia alami bahkan pada saat paling sibuk dalam hidupnya.
Rudolfo sibuk yang sesibuk-sibuknya tidak berbanding.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H