Pikiran Rudolfo tertuju kepada kecepatan. Ia mencambuk motor agar lari secepatnya. Tidak perduli mesin menangis histeris menghamburkan seluruh kekuatannya.
Pada satu perempatan, terlihat keadaan yang berpotensi melambatkan perjalanan. Bila mematuhi aturan, waktu akan menjadi melar. Lebih dari 100 detik.
Tidak mau menunggu, Rudolfo sedikit menggoyang setang ke kiri. Menyusuri jalur tepi, masuk ke ruas di sebelah kiri darinya.
Rencana cepatnya, langsung putar balik ke kanan memasuki ke jalan yang ia tuju di seberang. Dengan itu Rodolfo bisa mengangkangi lampu lalu lintas.
Tidak selamanya rencana berjalan mulus. Ketika berbelok ia memotong hidung sebuah mobil. Kaki pengemudinya sigap mengerem, tangan menekan tombol klakson sejadi-jadinya, mulut mengumpat.
Rem mendadak membuat kendaraan di belakang tidak sempat bereaksi. Demikian pula kendaraan di belakangnya lagi.
Maka di antara pertikaian klakson sekalian umpatan, terdengar suara benturan kaleng lawan kaleng secara berturut-turut. Asap putih menyembul dari kap mesin yang menekuk.
Untungnya Rudolfo selamat dari musibah. Ia menoleh sejenak. Tancap gas. Sumpah serapah menggema dalam kekacaun.
Laju motor makin kencang. Kian kencang. Pokok-pokok pohon di kiri kanan berkelebatan. Aspal mulus telah memudahkan segalanya. Pikiran Rudolfo hanya tertuju kepada satu hal: jangan sampai telat masuk kantor.
Tinggal melewati jalan layang di depan sana, belok kanan setelah melampaui sekian ratus meter berikutnya, maka Rudolfo bakal sampai halaman parkir kantor. Dengan itu ia tidak akan terlambat.
Namun sebuah keadaan darurat membuat Rudolfo terlambat bereaksi. Sebuah truk mogok tepat berada pada turunan setelah puncak flyover.