Bunyian tersebut juga tertulis di poster-poster pengunjuk rasa, dan tentu saja demonstran kelas nasi bungkus, di depan gedung tempat kerja lembaga yang menyangkakan.
Sebaliknya, tidak sedikit penentang merasa senang dengan penangkapan pemimpin favorit warga, yang seyogianya tidak mereka sukai. Apalagi kalau bukan sebab terkait perbedaan pandangan tentang  kekuasaan, serta bagi-bagi kursi dan konsesi.
Meminjam istilah dari republik sebelah: polaritas politik yang kadung melembaga. Kenapa "kadung melembaga"?
Begini, dua kutub pendukung berseberangan lantaran pimpinan teratas berbeda jauh dalam pandangan. Mereka bertukar caci maki, berbalas melontarkan keburukan, saling menyuarakan negasi, hingga gugat-menggugat tiada akhir.
Dua kutub saling berselisih tetap berseberangan hingga membeku menjadi sebuah wujud kaku sebuah pertentangan. Permusuhan antar saudara sebangsa dan setanah air yang berkelanjutan, terstruktur, dan melembaga.
Padahal..., padahal mah dalam perkembangan selanjutnya dua pemimpin saling senyum, berjabat tangan, kemudian bekerja bareng dalam keakraban bagai tiada pernah beradu kening.
Sudahlah, lupakan kisah perseteruan dengan akhir kebahagiaan kalangan atas di republik sebelah. Kembali ke situasi terjadi di republik ini.
Warga republik ini mengikuti perkembangan terkini dengan saksama, tanpa sedikit pun melewatkan cuplikan-cuplikan cerita penangkapan pejabat favorit.
Pendukung harap-harap cemas. Penentang menantikan pemimpin favorit masuk jeruji besi.
Para petugas dari lembaga menyangkakan sedang sibuk mendalilkan terjadinya penyelewengan dilakukan oleh pemimpin favorit warga.
Mereka menggeledah rumah pribadi berhalaman luas dengan kolam renang di taman belakang, rumah dinas, dan tempat kerja paling dingin di republik ini.