Tentu saja makian keluar dari mulut mereka bukan perkataan mengenakkan bagi telinga keluarga kami. Membuat hatiku teriris melihat perlakuan mereka kepada orang tuaku.
Tidak hanya sekali. Berkali-kali tanpa sekalipun orang tuaku berdaya melawan mereka. Dari itulah muncul bibit dendam yang kelak makin rimbun seiring dengan pertumbuhan jiwaku.
Setelah cukup ukuran badan, aku merantau ke kota metropolitan di seberang pulau. Niat terdalam adalah mengangkat derajat keluarga.
Ribuan kali aku menyaksikan senja berkasih-kasihan dengan malam disaksikan bintang. Merenungi kemunculan-kemunculan purnama. Menggigil menahan perih pada musim-musim yang sepi.
Ada cerita suka, di balik banyaknya riwayat luka dan lara yang hanya aku bincangkan dengan malam tanpa bintang.
Sekarang, inilah aku. Aku dengan wajah keras, pandangan tegas lurus ke depan, jiwa tabah dalam tubuh tegap tanpa rasa cemas, sedang duduk diselimuti hawa dingin di sebuah ruangan luas bangunan berlantai banyak.
Di hadapan menunduk seseorang dengan pandangan memelas menunggu keputusanku.
Manusia dari masa lampau, yang wajahnya terpatri pada sebuah pigura di dalam sanubari tanpa sedikit pun bisa dihapus.
Aku tak bakal melupakan, betapa sakit hati melihat perlakuan keluarganya kepada kedua orang tuaku.
Meski waktu itu ia belum cukup umur, melihat wajah angkuh bernada merendahkan keluargaku amatlah menyakitkan hati. Sangat sakit.
Sejak itu pula aku berniat membalas dendam yang paling dendam dengan cara paling memuaskan.