Aku sempat melirik laci. Pada bagian terdalam terdapat Glock 17.Â
Tiada lagi dorongan paling kuat selain dan tidak bukan melakukan pembalasan dendam, kepada manusia dengan dagu hampir beradu dengan dada.
Betapa tidak, ini adalah saat paling tepat dan tiada lagi waktu paling benar membalaskan dendam pada masa lalu.
Ingatan buruk yang ditorehkan bersama keluarganya pada waktu itu amatlah membekas.
Jika ada kesempatan, maka dendam paling kesumat pantas dialamatkan kepadanya, atau keluarganya yang mana pun.
Bila di sekitar ada pedang atau pistol berisi peluru tajam, itulah jawaban pas dan tiada lagi yang lebih pas tinimbang memisahkan nyawa dari raganya.
Dulu. Pada waktu yang sangat lampau, ketika celana pendekku kedodoran karena karetnya sudah keterlaluan kendornya, sehingga di sekeliling pinggang mesti dipasang kain dipotong memanjang serupa tali, keluarganya merendahkan keluargaku.
Ekor mata menampak bapak dan emakku sedang menunduk, menerima cercaan bercampur penghinaan.
Entah pangkal perkaranya apa maka keluarga kaya itu memberondongkan kata-kata kasar.
Mereka adalah keluarga terpandang paling makmur dan disegani di kota. Sementara, apalah keluargaku: sederajat pecahan genteng, yang berserakan di genangan jalan berlubang dan diinjak sandal jepit orang lalu-lalang.
Tentu saja makian keluar dari mulut mereka bukan perkataan mengenakkan bagi telinga keluarga kami. Membuat hatiku teriris melihat perlakuan mereka kepada orang tuaku.
Tidak hanya sekali. Berkali-kali tanpa sekalipun orang tuaku berdaya melawan mereka. Dari itulah muncul bibit dendam yang kelak makin rimbun seiring dengan pertumbuhan jiwaku.
Setelah cukup ukuran badan, aku merantau ke kota metropolitan di seberang pulau. Niat terdalam adalah mengangkat derajat keluarga.
Ribuan kali aku menyaksikan senja berkasih-kasihan dengan malam disaksikan bintang. Merenungi kemunculan-kemunculan purnama. Menggigil menahan perih pada musim-musim yang sepi.
Ada cerita suka, di balik banyaknya riwayat luka dan lara yang hanya aku bincangkan dengan malam tanpa bintang.
Sekarang, inilah aku. Aku dengan wajah keras, pandangan tegas lurus ke depan, jiwa tabah dalam tubuh tegap tanpa rasa cemas, sedang duduk diselimuti hawa dingin di sebuah ruangan luas bangunan berlantai banyak.
Di hadapan menunduk seseorang dengan pandangan memelas menunggu keputusanku.
Manusia dari masa lampau, yang wajahnya terpatri pada sebuah pigura di dalam sanubari tanpa sedikit pun bisa dihapus.
Aku tak bakal melupakan, betapa sakit hati melihat perlakuan keluarganya kepada kedua orang tuaku.
Meski waktu itu ia belum cukup umur, melihat wajah angkuh bernada merendahkan keluargaku amatlah menyakitkan hati. Sangat sakit.
Sejak itu pula aku berniat membalas dendam yang paling dendam dengan cara paling memuaskan.
Aku sempat melirik laci. Pada bagian terdalam terdapat Glock 17)* dengan magasin terisi penuh.
Pikiran itu aku tepis. Aku tidak mau berlaku sebagai orang yang kehilangan nurani sebab siksaan dendam. Tidak!
Aku menarik napas panjang dari hidung. Menahannya di dasar perut. Mengeluarkan udara perlahan melalui mulut.
Tiga kali melakukannya sekarang aku merasa jauh lebih tenang. Sejatinya badai yang mengombakkan darahku mulai reda.
Aku memandang tajam dua matanya, mendengarkan keterangan secara seksama tentang kesulitan keuangan dihadapi keluarganya.
Besar harapannya, aku memberi jalan keluar.
"Baiklah kalau begitu. Datanglah ke HRD. Mereka akan menempatkanmu sesuai dokumen kamu bawa"
Orang tersebut tergagap, lalu mengucapkan terima kasih. Pelan. Sangat pelan sehingga bagai bisikan.
Kelegaan memancar dari wajahnya. Ia berdiri. Melekukkan punggung penuh takzim. Berbalik. Tepatnya, hampir membalikkan badan.
"O ya, tolong sampaikan catatan ini kepada petugas di HRD," aku menyodorkan secarik kertas lalu mengibaskan punggung tanganku.
)* Glock 17 adalah jenis pistol semi otomatis buatan Austria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H