Bukan karena belum sarapan. Sudah. Di rumah. Saya memerlukan tempat nongkrong, sambil mengetuk-ngetuk layar telepon pintar.
Suami istri dua anak meneruskan usaha penjualan gado-gado dan gorengan dari orang tua yang telah berpulang. Anak tertua sudah menginjak bangku SMA. Sedangkan anak kedua berusia 11 tahun, tidak sekolah karena lumpuh sejak lahir.
Mengapa ia tidak disekolahkan di tempat Anak Berkebutuhan Khusus? Saya tidak punya keberanian menanyakannya.
Suaminya korban pengurangan karyawan sebuah pabrik di Kota Bogor pada masa pandemi lalu. Sekarang ia bekerja serabutan dengan penghasilan tak tentu.
Bahtera oleng kehilangan daya utama, untunglah ada sekoci penyelamat. Menurut pengakuan, usaha jualan gado-gado dan gorengan lumayan menolong mereka melanjutkan hidup.
Berapa penghasilan dari lapak penjualan makanan itu?
Mereka hanya tersenyum dan berkata, "Cukuplah untuk makan sehari-hari."
Saya coba-coba memperkirakan omzet lapak tersebut dalam sehari, berdasarkan pengetahuan terbatas dalam bidang bisnis kuliner yang sempat saya tekuni.
Perhitungan tersebut mengabaikan faktor pendapatan lain seperti pendapatan dari kerja serabutan, bansos, dan sebagainya.
Berhubung lapak terletak jauh dari jalan raya, berada di dalam gang, maka pasarnya adalah tetangga sekitar, orang lewat seperti saya, serta langganan yang sudah tahu rasa dan harga penganan di tempat itu.
Warung beroperasi sejak pagi hingga Zuhur, yaitu sekitar enam jam lamanya.