Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kursi dari Langit

3 Juni 2024   10:09 Diperbarui: 3 Juni 2024   10:46 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kursi dari langit oleh Ralph dari Pixabay

Pesawat ringan terbang rendah mengeliling pucuk sebuah patahan purba. Berputar. Berputar beberapa kali.

Perlu diketahui terlebih dahulu, lahan tersebut tadinya satu kesatuan utuh yang luas.

Pada masa lampau, setengah bagian dari lahan tersebut terpotong seperti kue cokelat diiris pisau, lalu ambles sedalam kira-kira 300 meter. Membentuk jurang dan pada bagian terbawah beratus-ratus tahun kemudian air melewatinya, menuju ke tempat yang sudah pasti letaknya lebih rendah.

Dari kejauhan potongan tampak rata, tapi sebenarnya pada beberapa tempat terdapat tonjolan alami.

Potongan tanah dan batuan itu lama-lama ditumbuhi rumput dan beragam tanaman, yang biji-bijinya dibawa oleh para burung. Sedangkan di bagian atas, pada bagian pucuk yang tidak ikut ambles bermukim secara turun temurun sejumlah kepala keluarga berikut buntutnya.

Dari kampung, dari atas jika pada pagi atau sore kita bisa melihat awan-awan seperti kapas, berarak-arak melayang menutupi jurang atau potongan bagian bawah. Makanya mereka yang berkunjung menjulukinya sebagai negeri di atas awan.

Bukan wisatawan. Mereka adalah petualang atau pecinta alam yang mau berpayah-payah membuang keringat dan tenaga, menyusuri jalan terjal beronak duri demi melihat keindahan alam.

Pemandangan biasa saja bagi warga yang hidup dengan bertani dan beternak di bagian lahan cenderung datar. Warga berbadan sehat dan kuat suka mengarit di lereng curam tapi tidak begitu curam yang amat subur. Mengambil rumput dan tanaman perdu terbaik untuk pakan kambing.

Mungkin orang kota ngeri melihat kegiatan warga menuruni dan menaiki tebing. Namun para pengarit sudah terbiasa dan sangat mengenal medan. Mana batu kokoh untuk diinjak dan mana cadas yang sewaktu-waktu ambrol ketika dijadikan pegangan. Mereka juga membawa alat sederhana: arit, keranjang bambu, tali.

Meskipun berjumlah sedikit sehingga kampung tidak padat, warga hidup rukun dan damai tanpa ada perebutan dalam hal apa pun. Saling bantu dan bekerja barengan secara tulus tulus merupakan prinsip utama. Kurang lebih serupa dengan gotong royong.

Tiada amarah di antara mereka. Tiada amanah yang diselewengkan demi keuntungan pribadi dan atau keluarga mereka sendiri (di sana tidak kelompok seperti partai, misalnya.

Hubungan sejuk dan damai menghiasi lingkungan alam sejuk kalau siang, mendatangkan gigil saat malam.

***

Pesawat terbang rendah mengitari kampung membuat semua orang menghentikan kegiatan, lalu mereka berkumpul di suatu tanah lapang agar leluasa melihat.

Pesawat udara meluncur di atas kepala mereka bukanlah satu hal aneh. Kendati tampak kecil nun di langit tinggi, sesekali kapal terbang memotong angkasa.

Ini terbang terlalu rendah. Pesawat kecil tampak besar dan jelas pada pandangan warga. Makanya mereka penasaran, ada apa gerangan?

Terlihat pintu dibuka. Dua orang terikat pada bagian dalam pesawat sepertinya mendorong suatu benda. Dan, dan... mereka sengaja melepas barang semacam kayu. Benda keemasaan berkilap-kilap terjun bebas.

Objek dari perut pesawat jatuh bukan ke lapangan atau kampung warga, tetapi meluncur ke jurang. Menghantam beberapa tanaman. Berguling-guling. Menggelinding sejenak lalu menyangkut pada semak-semak.

Pak Apung, sebutan untuk kepala kampung, berseru kepada beberapa orang agar mengikutinya. Menuruni tebing curam tapi tidak begitu curam demi melihat benda dari langit.

Beberapa saat kemudian, mereka mengangkat sebuah kursi berukir-ukir berwarna keemasan dengan hanya sedikit goresan.

Mereka biasa merakit kursi atau bangku dari bahan tersedia di sekitar. Tiada pekerjaan merapikan, yang penting tempat duduk tersebut berfungsi.

Beda dengan kursi ini. Sebuah kursi kokoh. Terbuat dari kayu keras kualitas nomor wahid. Kursi sangat bagus, benar-benar bagus, terlalu bagus bagi petani dan peternak. Dengan jok, sandaran, dan penopang lengan terbungkus beludru berwarna merah.

Kursi dari langit. Kursi yang sengaja dijatuhkan dari perut pesawat kecil di atas langit kampung tampak masih utuh.

Tidak sempatlah warga sederhana itu mempertanyakan, kenapa orang-orang membuang kursi bagus? Mereka lebih membahas, siapa yang akan menyimpannya?

Lantas semua pandangan tertuju ke Pak Apung. Pemimpin warga kampung, yang dipilih berdasarkan musyawarah warga, ditunjuk karena cakap menyelesaikan segala soal, bijaksana, dan disukai semua warga.

"Saya? Di rumah saya?" Pak Apung memandang para tetua yang lalu mengangguk kecil.

***

Tonggeret menggesek biola dari balik pepohonan. Awan berbaris berlapis-lapis menyambut malam. Gejabar-gejebur terdengar dari tempat mandi berdinding tinggi separuh badan. Pak Apung membersihkan badan dari kotoran, keringat, dan lelah.

Usai berganti baju ia makan. Duduk di tikar menghabiskan hidangan sederhana bersama istri dan anak-anak yang sekarang sudah dewasa.

Jendela kayu dan pintu ditutup agar angin tidak menerobos, kendati dingin menyelinap melalui celah-celah dinding anyaman bambu. Meskipun demikian, hawa di dalam rumah lebih hangat di banding udara luar yang gemetar.

Pak Apung meletakkan kursi dari langit di tengah ruang tamu. Mengamati sejenak. Mengambil kaos paling banyak lubang, lalu membersihkannya.

Kursi yang indah, gumamnya. Perlahan penuh keraguan ia menempelkan bokong. Punggungnya menyandar. Segera tubuh tegangnya menjadi nyaman.

Timbul perasaan tenteram yang belum pernah ia rasakan selama ini, bahkan ia berani bertaruh bahwa para tetua dan semua warga belum pernah merasakan kenikmatan itu.

Pak Apung menghayati. Hati tenang. Lengkung bibir mengembang. Pikiran tentang segala hal menjadi terang benderang. Ia menikmati, demikian menikmati duduk di kusi dari langit hingga tertidur sampai azan subuh berkumandang.

Ia beranjak dari kursi menuju tempat air berdinding separuh. Buang air, kecil dan besar, sekaligus mandi.

Pak Apung berteriak, "Tolong ambilkan handuk dan pakaian ganti!"

Selesai mandi, Pak Apung kembali duduk di kursi dari langit, "Minta air minum, ...minta kopi."

Sang istri menyiapkan gelas-gelas, bubuk kopi, gula, dan menjerang air. Waktu meletakkan hidangan, ia mendengar suaminya ingin makan di kursi dari langit. Bukan makan lesehahan seperti biasanya.

Sejak itulah, dan sampai waktu-waktu berikutnya, Pak Apung tidak mau lengser dari kursi dari langit, kecuali untuk keperluan ke kamar mandi. Tidak ke ladang. Tidak mengarit rumput di bawah dan memberikannya ke para kambing. Semua hal dilakukannya dengan tetap duduk di kursi dari langit, termasuk menjalankan pemerintahan kampung.

Maka pertemuan-pertemuan, rapat-rapat, musyawarah dilakukan sementara Pak Apung tetap duduk di kursi dari langit, sementara warga bersimpuh di lantai beralaskan tikar. Bagi warga yang tidak kebagian, bersila pada lantai semen nan menggigit.

Pak Apung memberikan instruksi dan perintah melalui kursi dari langit. Satu ketika ia menelurkan sebuah keputusan, bahwa warga harus menyetorkan sebagian hasil pertanian dan peternakan ke hadapannya.

Semua orang tidak mengerti. Terheran-heran dengan perubahan mendadak perilaku Pak Apung. Namun berhubung sebagai warga ramah, pencinta damai, dan tidak mudah meluapkan amarah, maka mereka patuh kepada perintah Pak Apung.

Pengaruh kursi dari langit? Itu meresahkan warga kampung. Membuat para tetua bertanya-tanya. Mereka langsung menyerbu dengan sejumlah tanya ke Pak Apung yang duduk di kursi dari langit. Jawabannya mengejutkan.

"Kalau tidak suka, ya pergi saja sekalian keluar dari kampung ini!"

Beberapa pria tampang beringas, yang entah direkrut dari kota mana atau ormas mana, melipat dua tangan di dada, menunjukkan otot-otot menggelembung. Hati para tetua ciut. Mereka undur diri.

Dalam perjalanan pulang mereka misuh-misuh, sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi pada keadaan normal. Serapah reda ketika bertemu dengan rombongan anak muda dari kota.

"Mau tanya, ke mana arah negeri di atas awan?"

"Jalannya sudah benar, tapi beli karcis dulu ke kepala kampung. Rumah Pak Apung di sebelah sana."

"Baiklah. Terima kasih," anak muda berkata santun dan mereka hendak beranjak.

"O ya, sebentar, barangkali kisanak tahu. Minta tolong amati dan kasih tahu kami, kursi jenis apa yang diduduki ketua kampung kami?"

Tak lama rombongan anak muda kembali lewat. Memberi jawaban kepada para tetua, "Kami tahu. Kami warga kota sengaja membuang jauh kursi semacam itu. Ia cuma bikin perkara."

"Kenapa kursi bagus dibuang?"

"Itu kursi bukan sembarang kursi, tetapi takhta," rombongan anak muda meneruskan perjalan ke tempat paling bagus demi menyaksikan awan melayang di bawahnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun