"Kalau tidak suka, ya pergi saja sekalian keluar dari kampung ini!"
Beberapa pria tampang beringas, yang entah direkrut dari kota mana atau ormas mana, melipat dua tangan di dada, menunjukkan otot-otot menggelembung. Hati para tetua ciut. Mereka undur diri.
Dalam perjalanan pulang mereka misuh-misuh, sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi pada keadaan normal. Serapah reda ketika bertemu dengan rombongan anak muda dari kota.
"Mau tanya, ke mana arah negeri di atas awan?"
"Jalannya sudah benar, tapi beli karcis dulu ke kepala kampung. Rumah Pak Apung di sebelah sana."
"Baiklah. Terima kasih," anak muda berkata santun dan mereka hendak beranjak.
"O ya, sebentar, barangkali kisanak tahu. Minta tolong amati dan kasih tahu kami, kursi jenis apa yang diduduki ketua kampung kami?"
Tak lama rombongan anak muda kembali lewat. Memberi jawaban kepada para tetua, "Kami tahu. Kami warga kota sengaja membuang jauh kursi semacam itu. Ia cuma bikin perkara."
"Kenapa kursi bagus dibuang?"
"Itu kursi bukan sembarang kursi, tetapi takhta," rombongan anak muda meneruskan perjalan ke tempat paling bagus demi menyaksikan awan melayang di bawahnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H