Beda dengan kursi ini. Sebuah kursi kokoh. Terbuat dari kayu keras kualitas nomor wahid. Kursi sangat bagus, benar-benar bagus, terlalu bagus bagi petani dan peternak. Dengan jok, sandaran, dan penopang lengan terbungkus beludru berwarna merah.
Kursi dari langit. Kursi yang sengaja dijatuhkan dari perut pesawat kecil di atas langit kampung tampak masih utuh.
Tidak sempatlah warga sederhana itu mempertanyakan, kenapa orang-orang membuang kursi bagus? Mereka lebih membahas, siapa yang akan menyimpannya?
Lantas semua pandangan tertuju ke Pak Apung. Pemimpin warga kampung, yang dipilih berdasarkan musyawarah warga, ditunjuk karena cakap menyelesaikan segala soal, bijaksana, dan disukai semua warga.
"Saya? Di rumah saya?" Pak Apung memandang para tetua yang lalu mengangguk kecil.
***
Tonggeret menggesek biola dari balik pepohonan. Awan berbaris berlapis-lapis menyambut malam. Gejabar-gejebur terdengar dari tempat mandi berdinding tinggi separuh badan. Pak Apung membersihkan badan dari kotoran, keringat, dan lelah.
Usai berganti baju ia makan. Duduk di tikar menghabiskan hidangan sederhana bersama istri dan anak-anak yang sekarang sudah dewasa.
Jendela kayu dan pintu ditutup agar angin tidak menerobos, kendati dingin menyelinap melalui celah-celah dinding anyaman bambu. Meskipun demikian, hawa di dalam rumah lebih hangat di banding udara luar yang gemetar.
Pak Apung meletakkan kursi dari langit di tengah ruang tamu. Mengamati sejenak. Mengambil kaos paling banyak lubang, lalu membersihkannya.
Kursi yang indah, gumamnya. Perlahan penuh keraguan ia menempelkan bokong. Punggungnya menyandar. Segera tubuh tegangnya menjadi nyaman.