Mengubah tampilan tempat bisnis kuliner memang bagus, tetapi tidak menjamin mendatangkan pengunjung lebih banyak. Bisa-bisa malah jadi sepi.
Sampai dengan enam tahun lalu, saya beberapa kali sarapan atau makan siang di sebuah warung sederhana di Kota Bogor. Bersahaja dalam penampilan maupun cara memajang menu.
Bangunan terbuat dari kayu. Tidak begitu luas. Berlantai semen tidak diaci. Angin mengalir dari kisi-kisi kayu dan akses masuk seringkali gagal mendinginkan tubuh para pembeli, yang mengantre atau sedang makan.
Konsumen datang mengambil nasi dari boboko (wadah nasi dari anyaman bambu), lalap dan/atau sayur, sambal. Memilih lauk terletak di tampah kemudian diserahkan ke pelayan untuk digoreng kembali.
Pilihan menu standar warung sederhana: ayam kampung, empal, ikan, tempe tahu, pepes, tumis oncom, dan lainnya. Hidangan favorit pelanggan adalah paru goreng dan urap cikur (kencur).
Urap cikur adalah rajangan tanaman kencur muda (umbinya masih putih/belum jadi) berikut daunnya, yang disangrai bersama kelapa parut berbumbu. Untuk mendapatkan urap cikur harus bercepat-cepat dengan penggemar lainnya.
Pembeli tampak lahap menyantap hidangan sesuai pilihan dan takaran masing-masing di meja panjang. Banyaknya orang di tempat tidak begitu luas membuat hawa warung jadi gerah.
Keringat mengucur usai perut terisi penuh. Satu tempat kesukaan saya untuk ngadem adalah bale-bale di luar warung.
Umumnya pengunjung berasal dari pegawai kantor sekitar bahkan jauh dari lokasi. Jalan buntu di depannya menjadi tempat parkir.
Kedai sederhana itu memang tersohor ke mana-mana, berkat rasa masakan enak dan tempat terkesan akrab serta pelayanan baik.