Bukan permasalahan naik angkutan umum. Mereka memikirkan, bagaimana kelak nasib putrinya setelah hidup dengan lelaki tak bermasa depan.
Rudolfo menjaga perasaan agar tidak berlaku kasar. Ia menghindari terjadinya perdebatan tiada arti.
Kekesalan memuncak saat orang tua Vinny menentukan syarat biaya penyelenggaraan perkawinan, yang sekaligus melampaui batas kemampuan Rudolfo.
Di situlah emosinya tidak terkendali. Hampir tidak terkontrol jika saja Vinny tidak meredam.
Akhirnya dengan segala cara, permasalahan uang mahar dapat teratasi pada waktunya.
Berhenti? Tidak juga. Baru saja bahtera meninggalkan pelabuhan, gesekan-gesekan antara Rudolfo dengan orang tua Vinny membayang-bayangi pelayaran.
Namun seiring berlalunya waktu, hubungan mereka terasa kian membaik. Tidak ada alasan tepat yang dapat menjelaskan bab itu.
Kehidupan ibarat kopi seduh tak diaduk. Begitu tiba di setengah bagian, rasa manis mulai merembes, kendati pada masa-masa awal terasa getir tidak ada manis-manisnya.
Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Berpahit-pahit dulu, merasakan manisnya hidup kemudian.
***
Dengan hati-hati Vinny meletakkan lepek di meja tamu, lalu mendudukkan cangkir berisi kopi seduh tak diaduk.