Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Seduh Tak Diaduk

22 Mei 2024   07:08 Diperbarui: 22 Mei 2024   07:18 1671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi seduh tak diaduk (dokumen pribadi)

Mendekati dasar, rasa manis lebih tececap manis namun bukan manis melenakan yang dapat mengancam kesehatan.

Hingga di situ saja. Rudolfo tidak sampai menyedot butiran-butiran tiada guna mengonggok di dasar cangkir. Bisa-bisa tersedak getir.

Prinsipnya, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Berpahit-pahit dulu merasakan manisnya hidup kemudian.

Vinny sangat memahami filosofi dianut Rudolfo. Selama sekian tahun hidup bersama, setiap kali ia menghidangkan kopi seduh tidak diaduk lelaki itu menerangkannya, pada pagi setelah Rudolfo menghabiskan sarapan sebelum berangkat kantor. Dulu.

Kini Rudolfo mendatangi rumah orang tua Vinny.

"Mau kopi? Seperti biasa?"

"Ya, kopi seduh tak diaduk."

Rudolfo berbincang akrab dengan ibu dan ayah Vinny selayaknya orang-orang telah lama tidak berjumpa.

Padahal dulu sebelum Rudolfo boleh memboyong anak gadis mereka, calon mertua waktu itu sangat menentang hubungan dua anak manusia tersebut.

Ada beberapa perkara sehingga ibu dan ayah Vinny tidak perlu menyukainya. Salah satunya, Rudolfo datang ke rumah mereka dengan menumpang angkot.

"Bau deru, debu, dan peluh!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun