Rudolfo punya langgam tersendiri menyeduh kopi, yang boleh jadi berbeda dengan kebiasaan umumnya penikmat. Kopi seduh tak diaduk.
Ia akan menumpahkan isi saset harga seribu empat ratus perak ke dasar cangkir, kemudian menuang air baru diangkat dari api. Seketika aroma merangsang menghambur menyerbu bulu-bulu hidung.
Tampak gelembung-gelembung putih bermunculan pada permukaan berwarna hitam. Partikel-partikel mengambang satu demi satu lesap. Meluncur berkumpul bersama teman-temannya yang lebih dulu tenggelam.
Setelah menunggu sejenak, baru Rudolfo memagut bibir cangkir. Matanya terpejam menikmati aroma dan rasa.
Bagi Rudolfo kopi plus gula tak diaduk memiliki filosofi. Sebagai cara memandang hidup. Jadi bukan sekadar kopi seduh tak diaduk.
Kopi saset berisi kopi bubuk plus gula ketika diseduh dengan air panas, lantas diaduk merata akan terasa manis berlebihan.
Kalaupun ingin manis, Rudolfo menyeduh kopi dibubuhi gula. Bukan gula dikasih kopi.
Berkebalikan dengan selera umum yang menyatakan, kopi harus manis betul agar tercecap enak.
Rudolfo jarang meracik kopi dengan menakar sejumlah bubuk dan sedikit gula. Lebih kerap bikin kopi seduh tak diaduk.
Pada sesapan awal, larutan kopi memang terasa pahit tidak ada manis-manisnya. Begitu tiba di setengah bagian, mulai terasa rembesan gula menandingi getir kopi. Manis yang samar.