Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Blaming, Perilaku Toksik yang Harus Disingkirkan

4 Maret 2024   07:08 Diperbarui: 9 Maret 2024   01:16 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Blaming (menyalahkan) oleh Yan Krukau dari pexels.com

Bulog menyalahkan orang Eropa yang ikut-ikutan mengonsumsi nasi, di balik kenaikan harga beras global. Kira-kira begitu dalih yang disampaikan oleh Direktur Bisnis Bulog Febby Novita pada Rabu (28/2/2024).

Menurutnya, orang Eropa memborong beras Thailand dan Vietnam. Mereka yang sebelumnya mengonsumsi olahan gandum, kini mulai makan nasi.

Itu berpengaruh terhadap kenaikan harga beras dunia, selain dampak El Nino terhadap produktivitas lahan pertanian dan kondisi geopolitik global.

Sebaliknya Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari mengatakan pada Senin (26/2), ada penurunan harga beras di negara penghasil. Gambarannya: di Vietnam Rp9,530 juta per ton atau Rp9.350/kg, dibanding HET/harga eceran tertinggi beras premium lokal Rp13.900/kg.  

Berita lengkapnya dapat dibaca di "Dalih Bulog soal Beras Mahal: Sekarang Orang Eropa Juga Makan Nasi".

Barangkali dalih disampaikan sebagai mekanisme pertahanan diri untuk menutupi rasa tidak nyaman, akibat ia atau institusinya tidak berhasil meredam lonjakan harga beras.

***

Dalam dunia kerja blaming kadang terjadi. Kebiasaan menyalahkan yang toksik.

Tidak jarang kita cenderung menyalahkan keadaan atau orang lain, manakala hal-hal tidak berjalan sebagaimana seharusnya.

Kemudian blaming menimbulkan rasa tidak mengenakkan di antara anggota tim. Membuat tidak produktif. Oleh karena itu, kebiasaan menyalahkan harus disingkirkan jauh-jauh.

Satu ketika saya memimpin satu tim, yang akan mendapatkan satu proyek besar bila berhasil memenangkan lelang. Investor sudah ada.

Seluruh anggota tim bekerja keras siang malam menyiapkan dokumen, agar layak diterima oleh pemberi proyek. Akhirnya dokumen, landasan hukum, dan kondisi sudah cukup untuk diajukan melalui e-procurement.

Terus terang, kami selama itu melakukan "pendekatan" ke pemilik proyek dan panitia lelang. Tahu sendiri, praktik perolehan proyek dengan kolusi pada saat itu masih berlaku.

Agar mencapai keberhasilan, dokumen dan teknis penyusunan sesuai dengan aturan lelang. Paling penting: mengikuti jadwal lelang dan menggunggah dokumen lelang sebelum batas waktu berakhir.

Untuk itu telah ditunjuk satu anggota tim berpengalaman dalam mengunggah dokumen lelang ke LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).

Sebelum berangkat mengawasi ke proyek lain di Bandung, saya menghubungi anggota tim tersebut untuk segera menggunggah dokumen lelang yang sudah lengkap. Kalau masih ada perbaikan, cukup tersedia waktu untuk unggah ulang.

Sistem penerimaan di situs adalah overwrite. Unggahan lama bisa ditimpa dan yang terbaca adalah dokumen terakhir di-upload.

Namun ia sedang bersama keluarga di rumahnya. Tidak di kantor. Anggota tim tersebut meyakinkan saya bahwa ia akan mengunggah pada pagi sebelum deadline.

Pada saatnya saya memperoleh kabar bahwa dokumen belum diunggah. Waktu pemasukan sudah tutup. Gagal ikut lelang! Gagal mendapatkan proyek!

Segera saya telepon ke anggota tim yang bertugas mengunggah dokumen.

Ternyata ia salah melihat tanggal. Sebagai ilustrasi, terakhir pemasukan dokumen adalah tanggal 1, tetapi ia membuka komputer pada tanggal 2. Itu terlambat. Sangat terlambat!

Emosi memuncak, sekaligus gemetar membayangkan kekecewaan investor yang sudah keluar uang tidak sedikit.

Sempat terpikir, saat bertemu investor nantinya berdalih bahwa saya disibukkan oleh pekerjaan lain. Lalu mengalamatkan kesalahan kepada operator pengunggah dokumen.

Kemudian saya berulang-ulang merenung. Menyalahkan anggota tim merupakan cara tidak baik.

Perilaku blaming dapat merusak hubungan dalam tim. Sangat mungkin pada diri saya akan muncul sikap:

  • Ego mempertahankan diri dengan menyalahkan orang lain.
  • Merendahkan martabat orang tersebut.
  • Mengecam keras dan mencaci anggota tim yang telah melakukan kealpaan.
  • Mengabaikannya, yakni tidak memberinya peran penting untuk pekerjaan selanjutnya. Bahkan menganggapnya tidak ada.

Tidak. Tidak bagus bagi kebaikan tim di masa mendatang. Itu toksik.

Saya mengubah pola pikir. Lebih baik saya tidak menyalahkannya, tetapi melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Berhenti mencari-cari alasan.
  • Sebagai pemimpin tim berani bertanggung jawab. Mengakui kesalahan kepada investor dan siap menerima segala konsekuensi.
  • Berbagi dan membicarakan kegagalan secara terbuka di hadapan tim.
  • Menjadikan kekeliruan, kesalahan, kegagalan sebagai pembelajaran berharga.
  • Mengevaluasi kegagalan. Bukan mencari siapa yang salah, tetapi membahas bersama tim tentang proses yang tidak berjalan sehingga menimbulkan kegagalan.
  • Selanjutnya, lebih memerhatikan hal-hal yang bisa diubah agar pekerjaan menjadi lebih baik. Semisal tidak menyepelekan waktu. Kalau perlu, mencatat hal-hal detail.

Jadi, tarik napas apabila terjadi kesalahan, kegagalan, kesialan dalam pekerjaan. Kendalikan emosi. Lakukan cara-cara di atas.

Tidak perlu menyalahkan keadaan atau anggota tim.

Blaming others atau menyalahkan orang lain adalah perilaku merugikan. Dapat merusak hubungan dalam tim. Kebiasaan menyalahkan yang harus disingkirkan, demi terciptanya lingkungan kerja tim secara lebih baik.

Demikian kurang lebihnya. Semoga bermanfaat.

Rujukan: 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun