Rumah makan Soto Banjar tampak jelas saat melintas. Rasa penasaran mengentak-entak jiwa, tetapi kecepatan berkendara menghalanginya.
Kaki kanan inginnya terus menekan pedal gas ketika melalui jalan nasional yang mulus itu. Waktu itu.
Baru-baru ini saya membaca reviu tentang Soto Banjar. Lantas tumbuh keinginan untuk menjajalnya, mengingat kini banyak kesempatan dan kecepatan tidak lagi menghalangi.
Maka pada pagi cerah itu saya berjalan kaki kira-kira dua kilometer, menuju halte BisKita di depan kantor Bappeda. Naik bus jurusan Ciawi, turun di satu halte di Jalan Pajajaran lalu berjalan kaki 700 meter ke tujuan: Rumah Makan Soto Banjar.
Langit mendung. Air mulai menitik. Pasak pendek menancap di angka 12 menunggu jarum panjang yang sedang berdetak meniti detik.
Melewati pengunjung yang memenuhi ruangan, saya langsung menuju satu meja kosong. Membaca daftar hidangan lalu memesan Soto Banjar pakai lontong untuk dimakan di tempat.
Juga membeli Ikan Gabus Habang harga Rp25 ribu bakal dibawa pulang. Kelak baru diketahui, sebungkus ikan haruang (gabus) berikut kuah bumbu merah ternyata seukuran tutup gelas biasa. Duh...
Sekarang di hadapan tersaji semangkuk Soto Banjar kuah bening. Berisi soun, perkedel, suwiran ayam kampung, telur (sepertinya telur bebek) rebus, bawang goreng, dan tentunya lontong (tepatnya: potongan ketupat).
Setelah menambahkan perasaan jeruk nipis, saya mencicipi kuah barang sesendok. Terasa ringan bersama gurih yang kuat berkat kaldu ayam kampung.