Upaya lain adalah mendorong keluarga (istri, anak, adik, dan seterusnya) sebagai penerus atau penggantinya. Sebagian orang menyebutnya politik dinasti.
Menurut saya, strategi tersebut boleh-boleh saja dilakukan, sepanjang tidak menabrak aturan berlaku. Apabila bermasalah dengan aturan atau etika terkait prosesnya, maka ia bukanlah pilihan saya.
Terbaru adalah terkait pilpres 2024.
Awalnya mungkin berupa dugaan-dugaan. Kemudian berkembang menjadi keprihatinan dan keresahan dari berbagai pihak.
Kalangan akademisi menyampaikan seruan. Agar elite politik dan pejabat negara kembali ke jalan demokrasi, yang bermartabat dan menjunjung tinggi etika.
Mantan pimpinan KPK 2003-2019 menyampaikan keprihatinan dan seruan moral kepada penyelenggara negara.
Gelombang keresahan bisa jadi diawali dari pelanggaran etik MK yang membuka jalan bagi salah satu kandidat sebagai cawapres, hingga pelanggaran etik oleh KPU (berdasarkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP) dalam pendaftaran satu calon.
Meski tidak menggugurkan pencalonannya sebagai cawapres, prosesnya sarat dengan isu pelanggaran etika.
Dan ini membuat saya berharap banyak kepada pemimpin terpilih, agar kelak menegakkan hukum sesuai koridornya. Mendahulukan etika kepemimpinan sementara melanjutkan kebijakan yang sedang berjalan.
Tidak ada lagi pihak yang kalau sudah duduk lupa berdiri, lalu melanggengkan kekuasaannya dengan segala cara. Termasuk mendudukkan keluarganya sendiri dengan mengabaikan etika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H