Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jabatan: Kalau Sudah Duduk Lupa Berdiri

7 Februari 2024   07:06 Diperbarui: 7 Februari 2024   07:06 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kursi jabatan oleh Pexels dari Pixabay

Tagline satu merek furnitur dalam iklan tahun 1990an demikian kuat. Meninggalkan kesan mendalam hingga kini.

Kursi sofa yang digambarkan membuat siapa pun "semakin betah di rumah". Duduk berlama-lama menikmati kenyamanan sambil minum teh.

Kemudian pengertian kursi yang membuat betah melebar, menjadi kursi yang berkaitan dengan jabatan.

Kursi jabatan juga membuat betah siapa pun yang pernah duduk. Lupa berdiri lalu enggan menyerahkan kedudukannya kepada orang lain.

Meskipun telah menjabat dua periode, ia enggan turun dari kursinya. Berusaha dengan segala cara tetap berkuasa, kendati menurut ketentuan jabatan akan berakhir.

Eits, pikiran jangan berkelana ke mana-mana! Ambisi "kalau sudah duduk lupa berdiri" menjangkiti teman saya.

Pedro, sebutlah namanya demikian, sudah dua periode menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) sebuah asosiasi perusahaan konstruksi. Ketentuan internal organisasi membatasi jabatan ketua sampai dua kali.

Jelang akhir periode kedua, Pedro tidak rela menyerahkan kekuasaan kepada orang lain. Enggan turun dengan dalih, tidak ada pengganti yang layak!

Padahal ada beberapa kandidat yang kompeten. Berpengalaman di bidang konstruksi dan memiliki pemahaman tentang organisasi.

Pedro mengabaikan kenyataan itu. Memberi gambaran kepada organisasi lebih tinggi (Dewan Pimpinan Daerah/DPD), bahwa di lingkungan DPC tidak ada yang layak sebagai pengganti.

Ia mengedarkan lembar dukungan untuk ditandatangani oleh para anggota. Lebih dari lima puluh persen memberi dukungan, sehingga secara aturan boleh diangkat kembali menjadi ketua kendati telah dua kali menjabat.

Mengapa Pedro ngotot ingin menjabat lagi? Kenapa berambisi menjadi ketua untuk tiga periode?

Ketua DPC asosiasi konstruksi memiliki keistimewaan. Selain ihwal kekuasaan, ketua DPC memiliki posisi terhormat di mata pejabat Dinas. Bahkan dianggap sejajar dengan Kepala Dinas.

Ia dimudahkan dalam perolehan jatah proyek dan bernegosiasi. Singkatnya, kedudukan prestisius dan kemudahan akses proyek merupakan keistimewaan ketua DPC.

Makanya, Pedro enggan turun dari kursinya. Kalau sudah duduk lupa berdiri.

Kejadian di atas adalah ilustrasi nyata, yang dapat dikembangkan pada ruang bahasan lebih lebar.

Semisal anggota dewan yang nyaleg lagi. Kepala daerah yang ikut dalam kontestasi agar terpilih kembali untuk jabatan itu. Ketua partai. Kepala negara.

Boleh jadi mereka menyampaikan beragam alasan enggan turun dari kursi, mempertahankan jabatan, melanggengkan kekuasaan, atau apa pun istilah upaya agar menjabat kembali.

Mungkin mereka merasa nyaman dengan pengaruh, kehormatan, dan akses yang diperoleh berkat kekuasaan.

Bisa jadi untuk mengamankan keadaan yang telah terbentuk selama mereka berkuasa. Bahwa kerangka yang telah dibangun dikhawatirkan tidak berlanjut atau berubah, ketika kursi dikuasai oleh orang lain.

Dengan perkiraan alasan-alasan di atas, mereka berambisi melanggengkan kekuasaannya. Bisa dengan cara yang sesuai aturan hingga berbenturan dengan ketentuan dan etika.

Upaya lain adalah mendorong keluarga (istri, anak, adik, dan seterusnya) sebagai penerus atau penggantinya. Sebagian orang menyebutnya politik dinasti.

Menurut saya, strategi tersebut boleh-boleh saja dilakukan, sepanjang tidak menabrak aturan berlaku. Apabila bermasalah dengan aturan atau etika terkait prosesnya, maka ia bukanlah pilihan saya.

Terbaru adalah terkait pilpres 2024.

Awalnya mungkin berupa dugaan-dugaan. Kemudian berkembang menjadi keprihatinan dan keresahan dari berbagai pihak.

Kalangan akademisi menyampaikan seruan. Agar elite politik dan pejabat negara kembali ke jalan demokrasi, yang bermartabat dan menjunjung tinggi etika.

Mantan pimpinan KPK 2003-2019 menyampaikan keprihatinan dan seruan moral kepada penyelenggara negara.

Gelombang keresahan bisa jadi diawali dari pelanggaran etik MK yang membuka jalan bagi salah satu kandidat sebagai cawapres, hingga pelanggaran etik oleh KPU (berdasarkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP) dalam pendaftaran satu calon.

Meski tidak menggugurkan pencalonannya sebagai cawapres, prosesnya sarat dengan isu pelanggaran etika.

Dan ini membuat saya berharap banyak kepada pemimpin terpilih, agar kelak menegakkan hukum sesuai koridornya. Mendahulukan etika kepemimpinan sementara melanjutkan kebijakan yang sedang berjalan.

Tidak ada lagi pihak yang kalau sudah duduk lupa berdiri, lalu melanggengkan kekuasaannya dengan segala cara. Termasuk mendudukkan keluarganya sendiri dengan mengabaikan etika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun