Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Apakah Ini Boleh Disebut sebagai Gaya Kepemimpinan Transformasional?

19 Desember 2023   06:08 Diperbarui: 20 Desember 2023   17:58 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebutan pemimpin transformasional masih asing di telinga saya. Mungkin karena mainnya kurang jauh atau punya pengetahuan amat kurang. Bisa jadi dua-duanya.

Ada yang senasib?

Nyontek dari bacaan-bacaan, kepemimpinan transformasional adalah gaya manajemen yang mendorong dan menginspirasi karyawan agar berinovasi, mengembangkan cara-cara baru untuk tumbuh, dan membangun jalan menuju kesuksesan perusahaan pada masa depan.

Pendapat lain mengatakan, gaya kepemimpinan transformasional adalah model pemimpin yang menginspirasi bawahannya, agar mengenyampingkan kepentingan pribadi demi perkembangan perusahaan.

Menurut pakar manajemen Merza Gamal, pemimpin menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan zaman digital menghadapi tantangan lebih berat di masa mendatang. Bukan pemimpin yang bermental bos. 

Begitu kira-kira pemaknaan menurut saya. Mudah-mudahan tidak melenceng dari makna dimaksud sehingga menyesatkan.

Gaya bossy ini kebetulan bukan gaya saya dalam mengelola satu usaha kuliner di masa lalu.

Dulu saya memperoleh kepercayaan mengelola sebuah bisnis kuliner di Jakarta. Tidak besar. Hanya 250 seating capacity.

Dengan itu saya memimpin 55 karyawan. Bekerja bareng demi mengangkat kembali kejayaan usaha, setelah terpuruk pascakrisis moneter dan lantaran menjamurnya bisnis sejenis di Jakarta.

Satu peluang emas tidak disia-siakan, saat sebuah asosiasi perkapalan menantang saya: mampukah mengadakan party untuk lebih dari 700 orang?

Menurut hitung-hitungan, mustahil terlaksana. Kapasitas duduk tidak mungkin muat. Tenaga kerja eksisting tidak bakal mampu melayani. Dan banyak lagi pertimbangan yang menyurutkan harapan.

Saya menyemangati manajemen dan karyawan, bahwa tidak ada satupun hal yang tidak mungkin kecuali makan kepala sendiri.

Dalam negosiasi berikutnya kepada klien, saya tawarkan model semi standing party. Disediakan tempat duduk dalam jumlah terbatas untuk makan prasmanan. Setelah bersantap, pengunjung menikmati rangkaian acara hiburan dengan berdiri.

Deal. Pemesan setuju dengan format seperti itu.

Secara internal saya mengambil tenaga kerja temporer yang dipandang terampil dalam pelayanan tamu. Briefing intensif pun dilakukan untuk memastikan operasional berjalan lancar.

Selanjutnya untuk malam itu diadakan closed party. Malam itu venue didedikasikan khusus untuk acara asosiasi. Tidak menerima tamu umum.

Sebetulnya bukan acaranya yang hendak diulas, namun beberapa peristiwa selama pelaksanaan.

Jumlah pengunjung demikian membludak di luar ekspektasi siapa pun yang pernah mengelola kafe tersebut. Karyawan keteteran, padahal tenaga ekstra (karyawan temporer) telah direkrut untuk menambah kekuatan.

Pada puncaknya saya turun tangan. Ikut turun tangan untuk mengatasi kerepotan karyawan melayani tamu.

Satu contoh nyata yang saya lakukan adalah mencuci tumpukan gelas di bar. Karyawan yang melihat tampak terperanjat, dan berusaha mengambil alih kembali pekerjaan.

Namun saya mengatakan, agar tenaga yang ada digunakan secara penuh untuk melayani tamu. Jangan sampai pengunjung merasa terabaikan.

Dengan itu saya mengajak seluruh karyawan bahu membahu menjadikan acara sukses tanpa kendala berarti.

Entah bagaimana ceritanya, tidak lama setelah itu semua karyawan tampak tambah semangat melayani tamu.

Syukurlah, malam itu pihak pemesan --pihak asosiasi-- merasa sangat puas dengan sajian, penampilan live music, jalannya acara, dan terutama pelayanan prima dari karyawan.

Bisa jadi gaya yang saya tunjukkan jauh dari filosofi kepemimpinan transformasional, sebagaimana didefinisikan oleh para ahli.

Saya hanya menyingsingkan baju. Turun tangan bekerja sebagaimana karyawan lain. Menanggalkan perilaku bossy dengan mengabaikan kepentingan pribadi.

Ternyata gaya tersebut menginspirasi dan memotivasi karyawan agar lebih giat bekerja. Menuntaskan salah satu tujuan usaha kuliner, yaitu memberikan pelayanan terbaik bagi tamu.

Waktu itu belum zaman digital. Pengetahuan saya pun tidak mengatakan bahwa itu termasuk model pemimpin transformasional.

Meskipun baru menyentuh secuil pemahaman, mudah-mudahan pengalaman di atas masuk dalam definisi manajemen kepemimpinan transformasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun