Saya segera menepis rasa penasaran agar tidak berkembang menjadi dugaan buruk, lantas menimang-nimang beberapa tinjauan:
Pertama. Betapa saya mudah terbuai dengan cerita kepentingan orang lain yang sangat mendesak.
Kedua. Tidak bisa berlaku tegas. Beda tipis dengan tidak tegaan.Â
Dengan nilai berbeda, peristiwa 'pinjam dulu seratus' tidaklah terjadi sekali. Sewaktu masih aktif, teman atau kenalan meminjam tanpa pernah kembali. Atau kalau meminjam, pengembaliannya melampaui batas waktu dijanjikan.
Ketiga. Memang ada orang yang mengalami keadaan sulit, tetapi beberapa kali cara mengutarakannya kurang tepat.
Kemungkinan keempat barangkali tidak mudah dicerna. Di masa lalu, disadari atau tidak, saya pernah berbuat aniaya mengambil hak orang lain. Maka kini semesta "menagihnya" kembali.Â
Bagaimana perhitungannya? Itu saya tidak pernah memahami.
Kelima. Bisa jadi saya kurang bersedekah. Melalui cara pinjam dulu seratus, Sang Maha Pemberi Rezeki memberikan peringatan. Saya percaya itu.
Akhirnya, 'pinjam dulu seratus' bukan lagi guyonan, tetapi sebuah teguran keras.
Bagi saya, peristiwa pinjam dulu seratus memberikan makna agar berlaku tulus. Mengikhlaskan apabila uang seratus ribu rupiah tidak kembali.
Doa saya, moga-moga ibu pelapak skala mikro itu itu diringankan dari kesulitan. Dimudahkan dalam mencari rezeki. Dilimpahkan kesehatan lahir batin.