Dengan tersenyum bangga ia bertanya, "perhatikan ini! Daging buahnya warna apa? Daging dekat kulit? Bijinya? Kulitnya?"
Cerita di atas terjadi pada saat semangka melimpah. Di pasar, swalayan, dan di lapak tepi jalan terlihat tumpukan buah bulat agak lonjong. Berwarna hijau dengan nuansa krem dan dihiasi oleh garis-garis melintang yang tegas.
Nah, di waktu sekarang semangka menghilang. Bisa jadi belum waktunya dipanen.
Kalaupun ada, toko swalayan di pusat kota menjualnya. Sedikit. Tentu saja dengan harga yang melampaui ukuran kekuatan dompet kawan kita satu ini.
Ia cuma bisa ngiler. Mengumbar nafsu menyantap semangka, momennya tidak tepat.
Bila memaksakan kehendak membeli semangka --sebagaimana pendukung fanatik capres memaksakan pilihannya kepada temannya, maka ia menghadapi risiko hanya makan semangka untuk beberapa waktu ke depan.
Mana kuat hidup tanpa makan nasi?
Hati berkerut. Terombang-ambing. Keinginan menusuk-nusuk membuat kawan kita satu ini sangat gelisah.
Daripada menahan hasrat tak tersalurkan sampai-sampai mendatangkan sakit kepala, lebih baik kembali ke rumah kontrakan.
Kawan kita satu ini berjalan kaki. Pelan-pelan menyusuri trotoar baru selesai dibuat. Pohon-pohon memayungi. Sebagian menjelma jarum-jarum matahari menerobos celah-celah dedadaun.
Sampai di tempat terlihat beberapa sepeda motor, yang sebagian ia kenal, parkir tidak beraturan di halaman sempit.