"Semangkaaaa.....!!!"
"Hah?!"
"Maksudku, semangat! Saking semangatnya mau berseru 'semangat' terpeleset jadi 'semangka'. Hehehehe..."
Kawan kita satu ini penggemar sejati buah semangka, baik dengan cara menyantapnya secara langsung maupun meminumnya setelah diolah menjadi jus.
Kala memakannya, mata berbinar-binar sementara gigi depannya mengerat ujung pipih potongan semangka.
Pipi menggeliat. Kadang menggelembung. Pada saat lain cekung. Dengan cepat geraham beradu. Menggerus bagian dari anggota suku ketimun itu.
Ia tak menghiraukan air menetes dari ujung bibir selama memamah. Sekeliling mulut belepotan. Tangan bergerak. Ujung lengan kaos pendek serentak mengeringkan.
Belum sempat habis serpihan di rongga masuk makanan, ia menyambar potongan lain. Menyisakan kulit keras berwarna hijau. Daging putihnya turut dikunyah.
"Iya. Untuk menjaga kesehatan ginjal."
Layaknya pakar kesehatan ia menerangkan rangkaian manfaat mengonsumsi semangka.
Nutrisi melimpah melancarkan pencernaan. Semangka kaya serat. Juga mengandung banyak air untuk menghidrasi tubuh.
Makan semangka dapat menurunkan kolesterol, mencegah penyempitan pembuluh darah, juga mengendalikan gula darah.
"Lha kan manis, bukannya bisa memicu penyakit diabetes?"
"Ada gula, tapi kandungannya lebih kecil daripada di buah lainnya."
Dengan semangat kawan kita satu ini melanjutkan penjelasan. Vitamin dan senyawa di dalam buah dari gurun di Afrika bagian selatan itu, dipercaya dapat memelihara kesehatan mata dan sendi.
"Detailnya, cari sendiri di internet! Capek ngomongnya."
"Eh bentar, betul gak sih belakangan semangka viral?"
Seraya membusungkan dada, kawan kita satu ini menarik napas panjang. Hidungnya mengembang.
"Begini..."
Dulu Israel melarang bendera Palestina berkibar, usai Perang Enam Hari di tahun 1967. Mengakali restriksi dan sebagai wujud protes, warga Palestina membawa irisan semangka.
"Kok .....???
Dengan tersenyum bangga ia bertanya, "perhatikan ini! Daging buahnya warna apa? Daging dekat kulit? Bijinya? Kulitnya?"
Cerita di atas terjadi pada saat semangka melimpah. Di pasar, swalayan, dan di lapak tepi jalan terlihat tumpukan buah bulat agak lonjong. Berwarna hijau dengan nuansa krem dan dihiasi oleh garis-garis melintang yang tegas.
Nah, di waktu sekarang semangka menghilang. Bisa jadi belum waktunya dipanen.
Kalaupun ada, toko swalayan di pusat kota menjualnya. Sedikit. Tentu saja dengan harga yang melampaui ukuran kekuatan dompet kawan kita satu ini.
Ia cuma bisa ngiler. Mengumbar nafsu menyantap semangka, momennya tidak tepat.
Bila memaksakan kehendak membeli semangka --sebagaimana pendukung fanatik capres memaksakan pilihannya kepada temannya, maka ia menghadapi risiko hanya makan semangka untuk beberapa waktu ke depan.
Mana kuat hidup tanpa makan nasi?
Hati berkerut. Terombang-ambing. Keinginan menusuk-nusuk membuat kawan kita satu ini sangat gelisah.
Daripada menahan hasrat tak tersalurkan sampai-sampai mendatangkan sakit kepala, lebih baik kembali ke rumah kontrakan.
Kawan kita satu ini berjalan kaki. Pelan-pelan menyusuri trotoar baru selesai dibuat. Pohon-pohon memayungi. Sebagian menjelma jarum-jarum matahari menerobos celah-celah dedadaun.
Sampai di tempat terlihat beberapa sepeda motor, yang sebagian ia kenal, parkir tidak beraturan di halaman sempit.
Pintu rumah terbuka lebar.
Ah iya, mungkin teman satu kontrakan sudah pulang duluan dan membawa teman-temannya, tapi keterlaluan. Memarkirkan kendaraan tidak rapi. Bikin tambah kesal.
Dengan menggerutu, kawan satu ini menarik-narik setang dan sadel. Sekarang empat motor berjejer rapi.
Lalu ia pun melangkah ke pintu dan mengucapkan salam sambil ngomel, "siapa sih yang........."
Sorakan orang-orang di ruang tamu membenamkan suaranya.
Terperanjat. Mata berkejap. Kawan satu ini belum terbiasa dengan pergantian suasana, dari terangnya siang ke temaramnya ruang tanpa penerang.
"Panjang umurnya....panjaaaang umurnya. Panjang umurnya serta mulia, serta muliaaaaa......."
Usai menyesuaikan penglihatan dengan keadaan, kawan kita satu ini melihat kue. Satu orang berusaha menyalakan lilin di atasnya.
Hati menyala marah padam tersiram es. Berganti rasa sejuk bercampur kegembiraan.
Ada macam-macam makanan yang pastinya jauh lebih banyak dan beragam dari hari-hari biasa.
Ayam goreng serundeng, tempe orek, kentang goreng ati, tahu tempe bacem, mi goreng, cap cay, sambal, dan kerupuk udang. Juga penganan jajanan pasar.
Satu hal yang paling menggembirakan pada hari itu adalah, pada sebuah piring putih tersusun potongan-potongan rapi daging merah dan putih berbiji hitam dengan kulit tebal hijau yang masih melekat. Di sebelahnya terdapat gelas berisi minuman berwarna merah.
Satu buah belum dipotong ada di satu sudut. Bulat. Hijau dengan garis-garis melintang.(*)
Budi Susilo. Tinggal di Kota Bogor. Belum lansia. Tidak muda juga. Males nulis panjang dan serius. Kemampuan fisik dan pikiran tidak mendukung. Dah gitu aja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H