Sekarang penggunaan air tanah mesti minta izin ke Kementerian ESDM.
Menteri ESDM menerbitkan surat keputusan tentang persetujuan (izin) penggunaan air tanah.
Penggunaan air tanah dalam batas tertentu, untuk sehari-hari atau kegiatan bukan usaha, perlu mengajukan permohonan persetujuan dari Kementerian ESDM.
Izin persetujuan penggunaan air tanah diberikan untuk:
- Pemakaian minimal 100 m3 per bulan untuk satu kepala keluarga.
- Penggunaan secara berkelompok, lebih dari 100 m3 per bulan untuk satu kelompok.
- Pertanian rakyat non-irigasi.
- Wisata/olahraga air yang bukan kegiatan usaha.
- Untuk litbang, pendidikan, dan kesehatan milik pemerintah.
- Fasilitas sosial seperti taman kota, rumah ibadah, fasilitas umum.
- Bantuan dari pemerintah, swasta, perseorangan berupa sumur bor/gali untuk penggunaan secara berkelompok.
- Penggunaan air tanah oleh instansi pemerintah.
Diketahui sebuah keluarga dengan 5 anggota (ayah, ibu, 2 anak, 1 ART) mengandalkan sumur bor. Apakah untuk mengambil air tanah perlu mengurus izin?
Menurut survei Ditjen Cipta Karya Departemen PU 2006 kebutuhan air warga perkotaan 144 liter/hari/kapita. Hampir setengahnya digunakan untuk mandi. Lebihnya untuk dikonsumsi (minum dan masak), mencuci pakaian, membersihkan rumah, dan keperluan ibadah (sumber).
Bila dianggap 30 hari, maka dalam sebulan setiap orang menggunakan air sebanyak 4.320 liter atau 4,32 m3. Untuk mencapai penggunaan 100 m3 per bulan, harusnya terdapat lebih dari 20 anggota keluarga.
Dengan pemakaian wajar, 5 anggota keluarga tersebut menggunakan air tanah tidak lebih dari 25 m3 setiap bulannya. Jadi tidak perlu mengurus izin ke Kementerian ESDM.
Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah, yang terbit tanggal 14 September 2023, adalah satu upaya memelihara keberlangsungan tersedianya air tanah (sumber).
Demi turut menjaga konservasi air tanah, maka lembaga pemerintah, swasta, sosial, dan masyarakat yang memenuhi kriteria mengurus penggunaan air tanah.
O ya, air tanah merupakan air bawah tanah yang berasal dari bawah kerak bumi. Berbeda dengan air permukaan, seperti air danau dan sungai.
Pertanyaannya, kok kebijakan baru terbit sekarang setelah kekeringan melanda Indonesia?
Tahun 2017 saya ikut terlibat dalam proyek pembangunan stadion mini dan lapangan sepak bola. Salah satu sub bagian pekerjaan penting adalah pembuatan sumur bor.
Pompa submersible buatan Italia dibenamkan di kedalaman 100 meter. Air bawah tanah yang terdorong ditampung di dalam ground tank beton.
Sebuah jet pump dipasang untuk mendesak air tampungan menuju sprinklers. Empat alat penyiram secara otomatis menciptakan kabut di seluruh permukaan lapangan sepakbola.
Meskipun lupa berapa debitnya, saya percaya bahwa penggunaan air tanah untuk penyiraman tersebut lebih dari 100 m3 per bulannya.
Berarti mestinya dinas pemilik stadion mini tersebut mengurus izin ke Kementerian ESDM. Namun tidak, karena aturan persetujuan penggunaan air tanah baru terbit pada September 2023 lalu.
Dugaan saya, tidak sedikit entitas atau keluarga atau kelompok yang dengan bebas menggunakan air tanah.
Ternyata sebelumnya ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tentang Penghematan Penggunaan Air Tanah. Pemegang izin pemakaian dan pengusahaan air tanah wajib menghemat penggunaan air tanah
Bobotnya memang lebih ke penghematan air tanah, tetapi saya rasa semangat konservasinya senada. Penghematan bagi semua pihak yang menggunakan air tanah.
Itu satu hal. Soal lain berhubungan dengan pajak pengambilan air.
Seingat saya dulu ada pajak daerah untuk pengambilan air bawah tanah dan air permukaan. Informasi terakhir, terbit UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Di dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan mengenai pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dan air tanah. Untuk air permukaan dikenakan tarif paling banyak 10%, air tanah paling tinggi 20%. Tarif ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Sebelum reformasi. Sewaktu masih menjadi karyawan. Ketika pajak air dikelola penuh oleh Pemda. Dalam rangka perencanaan suatu proyek, kantor saya mengadakan riset tentang pajak air permukaan dan air bawah tanah di provinsi Jawa Barat.
Ternyata realisasi penerimaan pajak air jauh di bawah potensi (saya lupa berapa angkanya, yang pasti di bawah 50 persen). Penyebabnya, antara lain:
- Misalnya: hotel, pabrik, dan usaha besar lain memiliki 5 titik sumur bor, tapi melaporkan 3 buah.Â
- Perusahaan dan warga yang tidak lapor.
- Tidak ada alat ukur sehingga petugas hanya mengira-ngira jumlah debit air.
- Kongkalikong pengusaha dengan petugas pemeriksa.
- Kurang pengawasan.
- Dan sebagainya.
Pajak di atas dikenakan bagi penggunaan air bawah tanah dan permukaan untuk kegiatan usaha. Sedangkan Kepmen ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 mengatur pengambilan air tanah untuk kegiatan bukan usaha.
Di satu sisi, adanya peraturan tersebut memantik kekhawatiran saya.
Kendati tidak ada ketentuan biaya dalam penyelenggaraan persetujuan, bisa saja satu ketika muncul oknum yang menawarkan jalan pintas perolehan izin. Apalagi kalau waktunya mepet. Tentu UUD. Ujung-ujungnya duit!
Ihwal pengawasan. Tidak ada yang dapat menjamin, dalam pemeriksaan penggunaan air tanah yang terkena aturan pengurusan izin, terbebas dari celah penyalahgunaan. Ada kemungkinan terjadi main mata antara pengawas dan pengguna.
Sosialisasi kepada masyarakat harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan terus menerus. Agar satu ketika tidak terjadi resistensi dari mereka, yang tergolong di dalam ruang lingkup aturan Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah.
Dengan pengenalan tepat, masyarakat memaklumi bahwa mengambil air tanah melampaui ketentuan wajib mengurus izin ke pemerintah (Kementerian ESDM), sekalipun sumur berada di pekarangan sendiri.
Mudah-mudahan Kepmen tersebut menjadi norma perkasa menjaga konservasi air tanah. Terlaksana dengan mulus tanpa penolakan berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H