Serentak kaki membelok ke kiri memasuki area warung. Lama juga tidak menyantap sajian jenis sup daging yang lezat ini.
Terakhir saya makan Coto Makassar di restoran konro daerah Lapangan Roos, Tebet, Jakarta Selatan, lebih dari dua puluh tahun lalu.
Setelah memesan, di meja terhidang semangkuk Coto Makassar isi daging. Beberapa ketupat dan burasa (sejenis lontong/buras) di piring saji.
Saya mengerti, Coto Makassar merupakan masakan berkuah hasil rebusan daging, jeroan, dan beragam rempah. Harusnya tidak makan olahan semacam ini, tapi bagaimana lagi? Rasa penasaran meronta-ronta dalam jiwa.
Mengutip dari laman sulselprov.go.id, di dalam Coto Makassar terdapat 40 jenis bumbu (rampa patang pulo). Satu bumbu yang membuat perbedaan adalah penambahan kacang ditumbuk halus.
Kacang berikut rempah membuat kuah berwarna keruh, menghasilkan aroma khas dan rasa gurih. Saya tidak bisa mencari perbandingan yang sepadan.
Coto Makassar merupakan sup daging atau olahan soto dengan cita rasa khas, unik, dan gurih. Maka saya tidak bakal menilai makanan khas Sulawesi Selatan dengan sebutan enak, tetapi enak banget!
Mangkuk licin tandas. Kuahnya disendok hingga tetes terakhir. Isi dua ketupat mengisi ruang pencernaan, meninggalkan pembungkusnya.
Rasa penasaran sudah terpenuhi. Indera pengecap masih mengingat kuah berempah dari Coto Makassar.
Saya berusaha mengenang supaya rasa bertahan lama dalam pikiran, agar tidak kembali dalam waktu dekat menyantap Coto Makassar yang enak banget. Ntar diomelin dokter!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H