Jaelani mengernyitkan dahi, "di Mantarena?"
"Iya. Akhirya masuk juga, meskipun prosesnya telat."
"Hey kalian, dengerin ya! Kamu, kamu, dan kamu (Acek Rudy mode on) jaga baik-baik anak baru ini. Dia sohib aku."
Sejak saat itu saya dikenal sebagai sahabat Jaelani sang jagoan di sekolah. Saya merasa teman-teman menjadi segan.
Sebenarnya tidak banyak yang tahu, Jaelani adalah tetangga di kompleks perumahan. Bapak saya dan ayahnya adalah kolega suatu instansi pemerintah, dalam hubungan sebagai atasan dan bawahan.
Jaelani sesungguhnya orang baik. Ia demikian memperhatikan saya ketika bertemu di acara-acara reuni sampai di perjumpaan terakhir.
Pria baik pengidap hipertensi itu satu saat dibawa ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Salak Kota Bogor. Penanganan stroke ringan yang cepat. Syukurlah.
Lama tidak bertemu, karena memang tempat tinggal kami sekarang berjauhan, saya mendengar kabar bahwa Jaelani rutin cuci darah.
Pada perjumpaan tidak direncanakan dan terakhir pada hari pertama Idulfitri 1444 H baru lalu, dengan suara lemah Jaelani menyebutkan bahwa dua kali seminggu menempuh prosedur hemodialisis. Saya berdoa untuknya.
Pada hari ketiga Idulfitri, pukul 13.31, seorang kawan menggunggah foto ke WAG Alumni SMAN Dua Bogor Angkatan '82: Jaelani berbaring tanpa daya dengan selang oksigen terpasang. Koma.
Pesan bermunculan. Puluhan anggota mendoakan kesembuhan.