Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pulang ke Kampung Halaman Terakhir yang Paling Sejati

25 April 2023   17:08 Diperbarui: 25 April 2023   17:12 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Beragam alasan untuk pulang ke kampung halaman. Merindukan tempat kelahiran, rumah orangtua, masakan ibu, makanan khas daerah asal, teman-teman masa kecil dan sekolah, tempat-tempat berkesan, dan seterusnya.

Bisa juga pulang kampung berarti pulang yang sebenar-benarnya pulang. Kembali ke mula penciptaan sejati. Merindukan kebahagiaan terakhir karunia Sang Pencipta.

Pada hari pertama Idulfitri, pukul 9.30 WIB saya bersua teman sekolah. Jaelani bin Badri tampak lemah, kurang semangat, dan pucat. Biasanya gagah bersuara lantang ketika menyapa.

Pria tersebut dulunya satu SMA, tapi beda lokasi. Sebab keterbatasan ruang, waktu itu jurusan IPA dan IPS terpisah sejauh 4 kilometer. Lokal IPS di Baranangsiang Kota Bogor (sekarang menjadi SMAN 3). IPA di jalan Mantarena (sekarang menjadi SMAN 9 Kota Bogor).

Anak IPA cenderung segan dengan siswa Baranangsiang. Beberapa amat "galak" terutama Jaelani. Kawan-kawan menghindar bila berjumpa dengannya. Npeper. Suaranya membahana bak orang membentak. Khawatir ditampol pula!

Saya anak baru. Maksudnya, siswa pindahan dari Kota Malang yang masuk di kelas 2 (XI). Itupun terlambat bergabung. Lebih dari sebulan setelah pelajaran dimulai saya masuk kelas.

Jadi saya tidak mengerti adanya geliat perang dingin antara murid-murid beda jurusan. Pun tidak tahu kalau Jaelani merupakan jagoan paling ditakuti.

Tahun 1982 umumnya anak sekolah berangkat dan pulang dengan berjalan kaki. Mereka yang rumahnya jauh biasanya diantar. Anak orang berada (misal: anak dari pegawai pajak, aparat kejaksaan, petugas bea cukai) membawa sepeda motor bahkan mobil.

Satu ketika saya berjalan kaki bersama teman-teman. Di jalan depan sebuah markas tentara berjumpa Jaelani. Dengan suara "menggelegar" (kata peghalusan dari "membentak") menanyakan berbagai hal. Rasanya tak elok bila dibabarkan di sini.

Ciut perasaan teman-teman. Gemetar. Minggir. Menghindari kemungkinan timbulnya masalah. Namun saya menyapa dengan nada biasa tanpa merasa gentar.

Jaelani mengernyitkan dahi, "di Mantarena?"

"Iya. Akhirya masuk juga, meskipun prosesnya telat."

"Hey kalian, dengerin ya! Kamu, kamu, dan kamu (Acek Rudy mode on) jaga baik-baik anak baru ini. Dia sohib aku."

Sejak saat itu saya dikenal sebagai sahabat Jaelani sang jagoan di sekolah. Saya merasa teman-teman menjadi segan.

Sebenarnya tidak banyak yang tahu, Jaelani adalah tetangga di kompleks perumahan. Bapak saya dan ayahnya adalah kolega suatu instansi pemerintah, dalam hubungan sebagai atasan dan bawahan.

Jaelani sesungguhnya orang baik. Ia demikian memperhatikan saya ketika bertemu di acara-acara reuni sampai di perjumpaan terakhir.

Pria baik pengidap hipertensi itu satu saat dibawa ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Salak Kota Bogor. Penanganan stroke ringan yang cepat. Syukurlah.

Lama tidak bertemu, karena memang tempat tinggal kami sekarang berjauhan, saya mendengar kabar bahwa Jaelani rutin cuci darah.

Pada perjumpaan tidak direncanakan dan terakhir pada hari pertama Idulfitri 1444 H baru lalu, dengan suara lemah Jaelani menyebutkan bahwa dua kali seminggu menempuh prosedur hemodialisis. Saya berdoa untuknya.

Pada hari ketiga Idulfitri, pukul 13.31, seorang kawan menggunggah foto ke WAG Alumni SMAN Dua Bogor Angkatan '82: Jaelani berbaring tanpa daya dengan selang oksigen terpasang. Koma.

Pesan bermunculan. Puluhan anggota mendoakan kesembuhan.

Pukul 14.03 kawan pengunggah foto mengabarkan, Jaelani bin Badri telah berpulang tepat pukul 14.00 WIB.

Ah Jaelani sohibku, engkau terserang stroke belakangan --ringan pula-- malah pulang duluan ke tempat bermulanya penciptaan. Ke kampung halaman paling suci.  

Moga-moga di sana mendapatkan apa yang dirindukan. Segala sesuatu yang dirindukan dari kampung halaman terakhir paling sejati. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun