Bagi yang gemar mengisapnya, mengabaikan asap tembakau dililit kertas selama seharian adalah penderitaan. Mulut asam. Duduk tidak tenang. Gelisah mencemaskan sesuatu.
Menemani kegiatan tersebut adalah menyeruput seduhan biji-bijian yang telah disangrai dan ditumbuk halus.
Sementara pada Ramadan umat Islam yang memenuhi syarat wajib menahan makan, minum, dan segenap perkara yang membatalkan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Syahdan ada empat pria tinggal di satu tempat. Mereka adalah perokok level berat dan kuat minum kopi. Bagi mereka tidak merokok dan minum kopi selama lebih dari 12 jam merupakan penderitaan.
Para pria bujangan menyewa rumah berkamar empat, satu kamar mandi, satu ruang tamu, halaman depan dan belakang, satu dapur tanpa peralatan memasak,
Biasanya, untuk bikin kopi mereka menggunakan panci bertenaga listrik. Dengan itu kepentingan minum kopi menemani merokok sama sekali tidak terganggu. Itu di hari biasa.
Masalahnya, saat berpuasa waktu ngrokok dan ngopi menjadi terbatas. Hanya bisa saat waktu berbuka dan sahur.
Di waktu-waktu itulah mereka seperti sepur beriring dan membasahi kerongkongan dengan cairan hitam. Baru setelah itu mereka makan takjil dan makanan utama.
Selama bulan Ramadan mereka sahur dan buka puasa dengan membeli nasi bungkus. Di warteg atau di rumah makan Padang langganan.
Satu orang, namanya Sidin, demikian solider. Rajin membelikan nasi bungkus untuk teman-temannya. Bukan mentraktir!
Mereka titip kepada Sidin agar membelikan makanan. Mengongkosi sedikit persen sebagai pengganti tenaga dan bensin.
Jauh sebelum waktu sahur dan berbuka, Sidin berangkat membeli makanan.
"Biar gak kehabisan pilihan," katanya.
Jadi, kelancaran konsumsi selama bulan puasa terpenuhi. Aman. Sidin Bisa diandalkan.
Pada satu hari di pertengahan bulan Ramadan, seperti biasa Sidin bertanya ke teman-temannya.
"Mau makan apa?"
Setelah dengan detail Sidin menulis pesanan ia terbang bersama motor matiknya.
Sidin yang rajin puasa, baik hati, tidak sombong, dan ikhlas menolong teman-temannya.
Sementara itu tiga orang tertinggal menjerang air. Menyeduh kopi. Duduk di halaman belakang. Rongga mulut meniupkan asap putih ke langit. Masing-masing dua tiga batang. Lumayan.
Sidin tiba. Membagikan bungkus makanan sesuai pesanan.
Belum sempat cuci tangan mereka meraup nasi, mencubit sambal, memotong lauk, dan menjumput sayur. Memasukkan ke dalam mulut menganga.
Ritual ditutup dengan minum segelas air hangat. Melihat jam dinding, sepertinya masih sempat menghabiskan satu batang rokok.
***
Pelan-pelan fajar berangkat ke langit barat. Perut padat. Kelopak mata memberat. Kuncup. Taklama saling berbalas alunan dengan notasi seragam.
Belum sepenggalah matahari naik, aroma menyengat mengalir lambat. Merambat ke lubang hidung.
Satu orang bangun. Ingatannya menabrak wangi yang intim. Keluar kamar. Mengendus-endus. Semerbak mengantarnya ke halaman belakang.
Sidin duduk dengan damai. Matanya menerawang.
Dua telapak tangan memegang mug berisi cairan hitam. Jemari menjepit silinder kuning keemasan dengan bagian putih lebih panjang. Ujungnya bara. Asap putih mengangkasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H