Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Buat Kesepakatan sebelum Bayar Pakai Exposure

4 April 2023   11:08 Diperbarui: 18 April 2023   11:22 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Food vlogger Mgdalenaf(Repro bidik layar via Instagram @mgdalenaf) [dokumen Kompas.com]

Pemilik bisnis bisa saja merasa ditodong, ketika pengulas produk hendak membayar pakai exposure. Atau menukar dengan keuntungan produk yang dipopulerkan oleh influencer.

Seorang food vlogger merasa pemilik rumah makan tidak menghargai profesinya. Meskipun ia telah menunjukkan jumlah followers, pihak restoran tidak menjamu sesuai dengan harapannya. Keluhan yang terkesan mengharapkan jamuan gratisan itu sontak mendapat sorotan tajam dari warganet, kalau tidak mau dibilang kritik. (Berita selengkapnya di sini).

Sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan exposure?

Saya sedikit tahu bahwa istilah exposure berkaitan dengan fotografi. Ditemukan juga dalam dunia investasi dan bisnis.

Namun, katanya, exposure juga berkenaan dengan keuntungan berkat kegiatan influencer, yang mempopulerkan produk atau brand satu produk bisnis. Pendapat ini saya tafsirkan bebas dari definisi yang disampaikan di sini.

Sedangkan influencer sendiri mengacu kepada orang atau entitas yang memiliki kemampuan mempengaruhi opini dan perilaku pengguna media sosial (sumber).

Rasanya saya sudah mulai mengerti, apa sih yang diributkan?

Branding. Bagi pemilik usaha, branding berkaitan dengan citra dibangun dan kredibilitas bisnis secara menyeluruh. Demikian agar perusahaan dapat menancapkan kesan mendalam di kepala audiens, tentang barang dan jasa ditawarkan.

Kegiatan itu meliputi: iklan produk, memasang papan nama, menunjukkan eksistensi, dan segala upaya peningkatan kesadaran pemirsa terhadap produk hingga jenama.

Kesadaran penonton (di zaman sekarang berkembang yang namanya followers) dibangun dengan adanya liputan berupa fotografi, videografi, dan narasi tentang produk. Dulu ditayangkan di televisi. Kini di media sosial.

Berkaitan dengan ihwal tersebut, saya pernah berurusan dengan kegiatan branding. Kemudian acara itu saya sederhanakan menjadi dua aktivitas.

Masuk dalam Program TV

Tahun 2000-an saat mengelola sebuah semi-fine dining restaurant dan kafe, beberapa kali area pelayanan digunakan sebagai latar pengambilan gambar film. Terkadang shooting satu segmen program musik di televisi.

Untuk mendukung kegiatan, maka pihak restoran menyediakan properti hingga listrik. Properti berupa makanan minuman dan keadaan ruangan kafe otomatis masuk ke dalam frame. Kemudian ditonton oleh khalayak.

Bayar?

Umumnya tidak. Pengorbanan pihak pebisnis ditukar dengan kredit (penulisan nama restoran) pada tayangan dimaksud.

Sebelumnya memang ada kesepakatan antara pihak restoran dengan rumah produksi, tentang apa saja yang perlu disediakan dan kompensasinya.

Kegiatan berlangsung diusahakan tidak mengganggu pengunjung. Biasanya berproses sebelum waktu makan siang atau jam tanggung antara pukul 2-3 sore.

Satu sampai dua jam. Kalau memerlukan durasi lebih panjang, misalnya setengah hari atau lebih, ya dikenakan biaya sewa tempat. Kecuali untuk keperluan makan minum kru, properti demi kepentingan pengambilan gambar bisa disediakan gratis.

Setelah selesai pengambilan gambar, pihak rumah produksi merapikan ruangan sebagaimana semula. Selama beberapa kali digunakan sebagai shooting, tidak ada masalah luar biasa yang menimbulkan pertengkaran antara pihak rumah produksi dan restoran.

Diliput Media Online

Tahun 2017 ketika mendampingi  seorang kerabat yang merintis usaha kuliner, salah satu upaya promosi adalah dengan membuat liputan. Lha bikin iklan belum terpikirkan oleh dompet!

Saya menghubungi pihak media online lokal (hanya meliput produk setempat) yang direkomendasikan oleh seorang penggiat medsos. Diskusi pun dilakukan via medsos berlanjut dengan pembicaraan per-telepon. Berakhir dengan kesepakatan dan penentuan waktu.

Pada saatnya pihak warung menyajikan mi ayam dan bakso. Dua jenis makanan itu memang barang jualannya.

Tampilan dibuat sebagus mungkin. Misalnya, pucuk daun sawi terpilih dimasak sedemikian rupa agar warnanya tetap hijau muda segar. Atau memilih pentol bakso yang bulatannya mulus.

Empat orang pihak peliput datang, maka empat porsi pula disediakan. Dengan opsi boleh minta tambahan untuk keperluan foto.

Gambar estetik kemudian dimuat oleh media online tersebut. Ulasan diberikan juga profesional. Bagus.

Tidak pakai lama, hampir setiap hari warung terisi penuh. Berdatangan penggemar mi ayam dan bakso dari berbagai bagian kota, terutama mereka yang berusia muda. Rupa-rupanya pemirsa dari media online lokal itu mayoritas generasi muda.

Pentingnya Membangun Kesepakatan

Kendati saya tidak terlalu memahami kriteria bayar pakai exposure, dua pengalaman di atas menjadi pembelajaran. Terutama bagi pengusaha kuliner.

Bahwa dalam menjalin kerjasama product branding dengan pihak media online, influencer, maupun rumah produksi, agar pemilik bisnis kuliner memperhatikan hal-hal berikut:

  • Mengetahui kredibilitas pihak yang akan bekerja sama. Kalau influencer bisa dilihat dari jumlah pengikut, cara dan kekerapan berinteraksi.
  • Memahami kemahiran spesifik dalam membahas satu bahasan. Contoh, almarhum Bondan Winarno punya gaya bahasa meyakinkan dalam mengulas makanan. Saya bisa tahu bahwa produk yang dibahas biasa-biasa saja, enak, atau enak sekali adalah dari cara bertutur beliau.
  • Membangun kesepahaman dan kesepakatan antara pihak pengulas atau pengguna properti pemilik usaha.
  • Memasukkan biaya-biaya (kecuali listrik ya, susah menghitungnya) ke pos biaya promosi. Saya ambil kebijakan, angka tersebut at cost price (biaya langsung sebelum ditambah overhead dan laba).
  • Dengan kesepakatan itu, masing-masing pihak mengetahui apa yang perlu disediakan atau tidak. Pemilik bisnis menyediakan produk terbaiknya. Pengulas mereviu hidangan disajikan dengan sungguh-sungguh sesuai keahlian yang disodorkan. Pengguna memperlakukan produk dan pemilik usaha secara pantas.

Penutup

Cara-cara kerjasama di atas patut diperhatikan oleh pemilik bisnis, dalam menghadapi pihak ketiga yang sekiranya berpengaruh terhadap branding produk, tempat, dan jenama. Pihak ketiga dimaksud bisa rumah produksi, media online, influencer, food blogger atau vlogger, dan semacamnya.

Demikian, dengan adanya kesepakatan kelak antara mereka dan pemilik bisnis tidak timbul dispute. Perselisihan ramai di jagat maya diharapkan tidak terjadi.

Jadi jangan sampai ada lagi pihak yang "menodong" dengan bayar pakai exposure. Setelah membuat foto atau video atas makanan minuman yang telah dihabiskannya, tanpa konfirmasi terlebih dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun