Kurang dari tiga menit setelah itu, seluruh anggota berkumpul. Sejenak berkoordinasi lalu menjauh mencari perlindungan.
Terdengar dentuman besar. Satu, dua, tiga, empat, lima kali ledakan besar dalam selang waktu nyaris bersamaan. Di antaranya, ledakan kecil di hadapan mereka.
Seketika mengapung suara riuh rendah. Manusia-manusia beroda dua demikian panik. Teriakan ketakutan bersahutan dengan nyaringnya sirene. Api menerangi cakrawala. Asap membumbung.
Para gerilyawan menghampiri bangunan yang satu dindingnya telah berlubang.
Seseorang menyeru, "ayo, cepat keluar ....!!!"
Anak-anak muda terlolong-lolong demi mendengar kegaduhan. Muka mereka pucat dengan tatapan kosong.
Namun kemudian putra kepala gerilyawan tersadar. Dengan kharisma warisan sang ayah ia mengomando teman-temannya, "serbuuuuu....!!!"
Serta-merta sekelompok remaja bangkit. Berdesing-desing. Roda-roda berpusing-pusing. Berdecit-decit meninggalkan jejak hitam pada lantai.
Sang ayah --pemimpin para gerilyawan-- baru menyadari sesuatu ketika semua sudah terlambat. Selepas itu mereka berlari dan berlari sekencang-kencangnya tanpa sekalipun sempat menoleh lagi ke belakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H