Pak Tua memandang takjub. Terbata-bata mengucapkan terima kasih, "malam ini anak istri bisa makan."
Aku menarik napas lega, memandang punggung pak Tua ketika hendak mengabarkan berita gembira kepada keluarga dicintainya.Â
Betapa bahagia telah membahagiakan orang lain.
Pengalaman itu perlahan mengurai kabel serabut berpilin-pilin di dalam kepala. Mengembalikan sambungan kepada keadaan sebagaimana mestinya.Â
Lampu rumah-rumah pun mulai menyala. Beberapa ruang di dalam kepala menjadi terang.
Ketika hendak melangkah ke petak berdinding batako beratap seng gelombang, terasa getaran halus di celana. Aku membuka layar. Sebuah pesan dari nomor kawan lama.
"Bro, sori bro. Proyek yg ini btal. Nti dkbarin lgi klu ada proyek ... (diikuti oleh tiga buah emoji tangan menyatu)".
Aku kembali duduk. Tulang-belulang lepas dari sendi-sendi. Runtuh. Luruh bersama harga diri.
Terbayang-bayang udara pengap menghantam bercampur dengan pertanyaan menyiksa: sementara tidak ada barang untuk dijual, bagaimana cara melunasi tunggakan tiga bulan iuran sekolah anak?
Kabel serabut berpilin-pilin di dalam kepala. Kusut. Cahaya matahari kian pudar. Temaram.
"Tidaaaaaak....!!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H