Bakda asar. Petak pengap. Udara terjerembap berbaur omelan dari dapur. Ke simpangan aku menyeret kabel serabut berpilin-pilin di dalam kepala. Â
Duduk pada beton tepi jalan cagak. Bertemu dengan orang-orang terpinggirkan. Menghirup udara segar. Mengurai kusut.
Sudut pertemuan jalan itu menawarkan kisah tentang segala kesah, juga bualan-bualan, yang paling mungkin terpikirkan oleh manusia.
"Ke mana Usman, tumben tidak kelihatan?"
"Ia pulang. Menghadapi petugas yang hendak mencabut meteran listrik rumahnya," ujar Pak Tua.
Pria berpipi cekung kemudian bangkit. Meniup peluit berkali-kali demi melihat sedan mewah dengan lampu kuning berkedip-kedip.
Tangan kanan pak Tua terangkat ke udara. Para pengguna jalan memelankan mobil motor lalu berhenti. Tangan kiri mengayun.Â
Moncong sedan melompat menuju jalan besar. Dari balik kaca, sopir merentang lima jari. Melesat.
"Usman pasti berseru, kalau perlu memaki, mengetahui mobil menyeberang jalan hanya dadah-dadah. Dikasih uang logam saja ngomel!"
"Tetap bersyukur. Berapa saja diterima. Kan tidak ada karcis yang menentukan harga," timpal pak Tua.
Jingga semburat. Memoles langit di cakrawala. Bincang-bincang tiada ujung pangkal. Menyenangkan. Menenangkan. Sejenak berlalai-lalai melupakan persoalan-persoalan mampat.
Kemudian pak Tua mengutarakan keinginan untuk menjual tabung gas melon masih isi.
"Lagi gak punya beras untuk makan anak-anak. Dari tadi belum hasil," pak Tua menghela napas.
Diafragma dalam dada menggeliat. Gumpalan-gumpalan tersendat. Aku ingat, ada satu lembaran yang sekiranya cukup untuk membeli beras berikut bahan untuk menemaninya.
Masih teringat jelas. Itu adalah sedikit sisa yang masih kurang untuk membayar satu keperluan genting.
Aku percaya, rencana perolehan pekerjaan akan memberikan nilai cukup untuk menutupi tagihan menggantung di pelupuk mata.
Jejak percakapan di telepon genggam masih kusimpan. Seorang kawan lama mengajak bekerja di sebuah proyek.
Jadi pembantu tukang sekalipun tidak mengapa. Dalam situasi kepepet begini, menghasilkan uang lebih penting dibanding idealisme.
Isi kepala berdenyut cepat, nanti bisa menggunakan mekanisme kas bon kepada mandor agar mendapatkan uang di muka. Untuk membayar keperluan mendesak.
Moga-moga kawan lama memberi kabar baik pada malam ini, sesuai janji.
Maka, seperti dikisahkan cerita-cerita heroik di lini masa, akhirnya pergulatan batin dimenangkan oleh sisi kebaikan. Pahlawan kebajikan menang melawan keburukan. Selalu begitu.
Pak Tua memandang takjub. Terbata-bata mengucapkan terima kasih, "malam ini anak istri bisa makan."
Aku menarik napas lega, memandang punggung pak Tua ketika hendak mengabarkan berita gembira kepada keluarga dicintainya.Â
Betapa bahagia telah membahagiakan orang lain.
Pengalaman itu perlahan mengurai kabel serabut berpilin-pilin di dalam kepala. Mengembalikan sambungan kepada keadaan sebagaimana mestinya.Â
Lampu rumah-rumah pun mulai menyala. Beberapa ruang di dalam kepala menjadi terang.
Ketika hendak melangkah ke petak berdinding batako beratap seng gelombang, terasa getaran halus di celana. Aku membuka layar. Sebuah pesan dari nomor kawan lama.
"Bro, sori bro. Proyek yg ini btal. Nti dkbarin lgi klu ada proyek ... (diikuti oleh tiga buah emoji tangan menyatu)".
Aku kembali duduk. Tulang-belulang lepas dari sendi-sendi. Runtuh. Luruh bersama harga diri.
Terbayang-bayang udara pengap menghantam bercampur dengan pertanyaan menyiksa: sementara tidak ada barang untuk dijual, bagaimana cara melunasi tunggakan tiga bulan iuran sekolah anak?
Kabel serabut berpilin-pilin di dalam kepala. Kusut. Cahaya matahari kian pudar. Temaram.
"Tidaaaaaak....!!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H