Jingga semburat. Memoles langit di cakrawala. Bincang-bincang tiada ujung pangkal. Menyenangkan. Menenangkan. Sejenak berlalai-lalai melupakan persoalan-persoalan mampat.
Kemudian pak Tua mengutarakan keinginan untuk menjual tabung gas melon masih isi.
"Lagi gak punya beras untuk makan anak-anak. Dari tadi belum hasil," pak Tua menghela napas.
Diafragma dalam dada menggeliat. Gumpalan-gumpalan tersendat. Aku ingat, ada satu lembaran yang sekiranya cukup untuk membeli beras berikut bahan untuk menemaninya.
Masih teringat jelas. Itu adalah sedikit sisa yang masih kurang untuk membayar satu keperluan genting.
Aku percaya, rencana perolehan pekerjaan akan memberikan nilai cukup untuk menutupi tagihan menggantung di pelupuk mata.
Jejak percakapan di telepon genggam masih kusimpan. Seorang kawan lama mengajak bekerja di sebuah proyek.
Jadi pembantu tukang sekalipun tidak mengapa. Dalam situasi kepepet begini, menghasilkan uang lebih penting dibanding idealisme.
Isi kepala berdenyut cepat, nanti bisa menggunakan mekanisme kas bon kepada mandor agar mendapatkan uang di muka. Untuk membayar keperluan mendesak.
Moga-moga kawan lama memberi kabar baik pada malam ini, sesuai janji.
Maka, seperti dikisahkan cerita-cerita heroik di lini masa, akhirnya pergulatan batin dimenangkan oleh sisi kebaikan. Pahlawan kebajikan menang melawan keburukan. Selalu begitu.