Lisan lantang. Orangtua bangga. Apalagi saat cita-cita menjadi nyata melampaui mimpi yang paling mustahil.
Mulut terasa asam. Kecut tanpa rokok setelah makan malam. Tidak ada yang bisa diperbuat melainkan memandang cecak menyergap nyamuk terpisah dari keluarganya.
Seperti dirinya. Kusut terpisah dengan keluarga terkurung di ruang sempit yang pengap juga lembap.
Ingatan bertumpuk-tumpuk menjejali mata terpejam diterangi temaram lima watt.
Ada masanya di mana orangtua memberikan pilihan cita-cita: dokter, insinyur, pegawai negeri, guru, atau orang berkedudukan.
Maka kelas di suatu sekolah dasar terkotak menjadi warna-warni mimpi, yang semoga terwujud ketika sudah dewasa.
Demikian halnya dengan ruang kelas paling buncit mendekati rumpun bambu angker, yang kadang-kadang dari sela-selanya muncul ular ramping panjang dan berwarna hijau pupus.
Hari beranjak siang. Menjelang pulang seorang bapak dengan pikiran bersahaja melihat anaknya di depan kelas.
"Cita-citaku menjadi pejabat! Berbakti kepada nusa bangsa dan orang banyak," lantang Sobri.
Hadirin sejenak gaduh. Pantat-pantat terangkat dari kursi-kursi merah setelah sebuah aba-aba.
Sepasang tangan saling bertemu bersama puluhan pasang tangan lainnya. Tepukan serentak membentuk ritme membahana yang seragam.
Menyambut Bupati dan Wakil Bupati baru melantangkan sumpah. Berdiri tegak dengan ujung-ujung bibir melengkung ke atas tiada lelah.
Sebuah aba-aba meredam riuh. Hadirin dipersilakan duduk kembali.
Sobri pun menyampaikan sambutan perdana, "terima kasih, terima kasih. Sekali lagi terima kasih atas kepercayaan untuk mengemban amanat rakyat. Kami akan mengejawantahkan program-program yang telah disampaikan di dalam kampanye..."
Selanjutnya kata-kata yang telah disusun sedemikian indahnya, dapat dibaca pada transkrip yang diterbitkan oleh biro hubungan masyarakat Kantor Pemerintahan Daerah Bersangkutan.
Atau membaca ringkasannya di media-media cetak dan daring.
Tahun pertama beragam nada pujian berhamburan dialamatkan kepada Kantor Pemerintahan Daerah Bersangkutan.
Bupati Sobri diberitakan kerap melompat-lompat sigap ke daerah-daerah pedalaman. Menjanjikan pembangunan yang bunyinya mirip dengan rentetan janji kampanye.
Janji kampanye direalisasikan dalam bentuk janji pembangunan.
Tahun kedua, ketiga, dan seterusnya Sobri membenamkan diri dalam tumpukan berkas.
Kumpulan kertas tersusun rapi yang mesti ditandatangani setelah dibaca dengan saksama.
Di sela-sela kesibukan, Sobri menyempatkan diri bersosialisasi. Bermain golf. Memancing di kolam eksklusif yang terbatas untuk orang-orang penting. Atau sekadar berkumpul di restoran, di mana harga kopinya tidak terjangkau oleh kebanyakan suara yang mencoblosnya.
Dalam kesempatan tersebut Sobri bertemu kelompok yang super sedikit, namun mengambil bagian super banyak dari perputaran ekonomi Daerah Bersangkutan.
"Jangan terburu-buru. Mesti mengelabui waktu. Agar semua berlangsung mulus tanpa ada yang tahu. Diamin akan kembali, bahkan nilainya berlipat-lipat daripada modal telah ditanam. Pasti semua akan ditandatangani."
Tidak hanya untuk kalian, aku juga sedang memupuk tabungan untuk anak cucu, batin Sobri.
Sobri dan istri serta anak-anaknya amat berkelimpahan, sehingga mampu membelikan rumah di sebuah klaster eksklusif bagi bapak ibunya.
Hati orangtua mana yang tidak bangga. Mimpi orangtua dan cita-cita mulia Sobri tercapai berkat kehendak semesta.
Kehidupan dan gaya hidup telah melampaui batas impian yang dulu ditanamkan kepada anaknya.
Maka empat mata renta menyaksikan layar kaca dengan bahagia. Sobri dijemput mobil-mobil bagus.
Orang-orang berpakaian rapi berwarna gelap dengan sigap siap mengawal anak kebanggaan mereka.
"Bune lihat, keren banget anak kita. Bajunya mencolok beda dengan orang lain. Oranye!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H