Pada satu periode, pemborong -bahasa kerennya, kontraktor- bisa benar-benar sibuk. Kontraktor kecil-kecilan pelaku UMKM sibuk dari pertengahan sampai dengan detik-detik akhir tahun.
Mengerjakan keruwetan pekerjaan konstruksi, aspek teknis maupun nonteknis (menghadapi ormas, warga, aparat, dan sebagainya) di lapangan.
Juga menyelesaikan kerumitan pekerjaan administrasi, meliputi laporan dan penagihan.
Kecuali pekerjaan merakit bangunan, nyaris semua kegiatan dilakukan sendiri. Dari mulai membaca gambar, menerjemahkan Daftar Kuantitas dan Harga (semacam RAB), supervisi pekerja, manajemen pembelian, membuat laporan, sampai mengurus proses penagihan.
Sesekali mendampingi pejabat pembuat komitmen, bahkan kepala dinas pemberi kerja.
Sebetulnya tidak sendiri sih. Biasanya dibantu oleh pelaksana harian yang mengawal pekerjaan dan melakukan hal-hal rinci. Ada juga pengawas independen maupun pemeriksa dari pihak pemberi kerja.
Di luar masa itu, pemborong melakukan lobi-lobi kepada pegawai Pemda untuk memperoleh "jatah" proyek. Biasanya tidak lama.
Kalau pulang saat matahari masih bersinar sinar terang, malulah hati dengan pintu rumah.
Waktu-waktu longgar yang kemudian memberi kesempatan nongkrong di sebuah kompleks perwira. Itu perumahan yang merupakan tempat tinggal perwira-perwira.
Wilayah yang disegani, kendati sebagian besar perwira sudah tiada. Tersisa para janda yang telah sepuh dan keluarganya. Beberapa anak penghuni asli adalah pemborong di Kota maupun Kabupaten Bogor.
Saya bukan anak tentara. Bisa nongkrong karena akrab dengan mereka.
Di kompleks perumahan tersebut saya bersenda-gurau dengan sesama pemborong kecil, ngobrol, ngopi, ngerokok, dan main kartu remi, joker Karo, capsa (poker), atau gaple (domino).
Sebagian peserta bermain hanya untuk bersenang-senang membunuh waktu.
Grup lain menggunakan uang. Bebas berjudi kartu, meski berjarak se-lemparan batu dengan kantor Koramil.
Petugas berseragam di kantor Koramil tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya mengawasi agar tidak ada orang selain peserta yang sudah sangat mereka kenal.
Maklumlah, sebagian besar pemain kartu merupakan putra purnawirawan senior.
Sesekali Danramil atau anggotanya berkunjung. Sekadar berbincang dan mengingatkan agar kesan judi tidak kentara.
Maka mereka yang berjudi kartu menggunakan batang korek api kayu sebagai pengganti uang.
Artinya, petugas di Koramil tidak bisa menghentikan judi kartu di kompleks itu.
Hanya satu orang yang bisa membubarkannya. Bukan aparat. Siapakah itu?
***
Di tengah suasana asyik bermain kartu, seseorang berseru, "Ompung datang!"
Mendadak para pemain kartu membereskan peralatan. Tergopoh-gopoh menyembunyikannya di kolong meja.
Bidang datar itu sudah bersih, menyisakan asbak, bungkus rokok, dan kotak korek api. Mereka tidak peduli, batang-batang korek kayu masuk ke dalam kotaknya. Tanpa dihitung.
Ternyata sosok wanita sepuh adalah ibunda dari seorang peserta permainan judi kartu. Baru kelihatan dari jauh saja para pemain kartu sudah blingsatan.
Ompung merupakan janda mati seorang perwira paling senior di kompleks. Begitu tiba di tempat, beliau menjewer telinga anaknya yang seorang pemborong.
"Pulang, kau! Waktunya makan malam."
Perintah itu sekaligus membubarkan kumpulan peserta nongkrong. Mereka segera kembali ke rumah masing-masing.
Jadi hanya Ompung Boru yang bisa membubarkan judi kartu di kompleks tersebut, bukan petugas berseragam.
Catatan: Kisah ini terjadi sebelum tahun 2017. Kini kompleks perwira menjadi sepi setelah berganti penghuni yang umumnya perwira aktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H