Dalam satu kesempatan, empat orang mitra bersama saya mengambil alih satu usaha kuliner.
Awalnya restoran itu menguntungkan. Dalam perjalanan terjadi perubahan konsep yang menimbulkan kerugian.
Pembelian usaha kuliner tersebut terhitung murah, dihitung dari segi aset dan nilai potensi pasar. Pelanggannya adalah pegawai yang berkantor di sebuah gedung pencakar langit daerah Kuningan Jakarta.
Restoran beroperasi dari pukul 8 pagi hingga 8 malam. Penjualan makanan dan minuman mencapai puncak pada waktu makan siang. Pagi dan malam pengunjung cenderung kurang.
Sampai beberapa bulan pertama setelah pengambilalihan, waktu buka dipertahankan demikian. Hanya terdapat pembenahan dari segi:
- Pemasaran.
- Mutu pelayanan.
- Ragam dan kualitas makanan minuman.
- Pengelolaan lebih ketat di antaranya, dalam hal pembelian, penyimpanan bahan, cost controlling, dan menekan jumlah barang tersisa/terbuang (waste).
Sedikit demi sedikit terjadi peningkatan jumlah pengunjung dan angka cover per pax (nilai dibayar oleh setiap tamu). Dua hal itu otomatis meningkatkan pendapatan.
Ada tetapi!Â
Tren penjualan bagus kemudian menggoda para pemilik untuk mencoba peruntungan lebih menjanjikan. Anggota konsorsium, bukan konsorsium 303, adalah penggiat dunia gemerlap pada zamannya (tahun 2000-an) yang menginginkan adanya perubahan konsep.
Saat itu saya juga sedang mengelola kafe dengan live music di tempat berbeda. Kerja rangkap. Sedangkan empat orang lainnya adalah penikmat dunia hiburan malam.
Kami menghendaki agar restoran di Kuningan bertransformasi menjadi club atau bar dengan musik. Posisi di lantai mezzanine dianggap cocok.
Mengubah konsep dari rumah makan menjadi club memerlukan perombakan tidak sedikit:
- Merenovasi interior. Ubin keramik ditutup dengan parket (laminasi lantai kayu) dan sebagian dilapis karpet.
- Mengganti meja kursi dengan yang lebih artistik. Ditambah sofa di sekitar dinding kaca menghadap lobi.
- Membenahi lighting system.
- Menambah peralatan tata suara profesional.
- Menambah meja dan perlengkapan bar.
- Penambahan izin bar dan musik hidup.
- Penyesuaian menu dan pastinya harga jual.
Sedangkan peralatan dan bagian dapur tidak mengalami perubahan. Dianggap masih memadai.
Tentu saja perubahan konsep diikuti dengan kegiatan pemasaran yang lebih agresif.
Rencananya, usaha kuliner itu tetap menjual produk pada sesi makan siang. Ditambah menjual atmosfer malam kepada pengunjung dengan segmentasi berbeda.
Namun dalam perkembangannya, pasar yang sudah terbentuk mulai susut. Kemungkinan besar timbul kesan di kalangan pelanggan yang makan siang: dari tempat makan untuk sasaran pegawai kantoran, menjadi kafe dengan harga makanan minuman mahal.
Padahal sesungguhnya harga menu makan siang tidak banyak berubah dengan kualitas lebih baik.
Untuk malam memang harga produk jauh lebih mahal, demi membiayai pengisi acara musik, pembengkakan biaya listrik, penambahan pegawai, dan seterusnya.
Pengunjung restoran di malam hari pada awalnya cukup banyak. Namun lama-kelamaan tidak sesuai target telah ditentukan.
Singkatnya, penjualan pada waktu siang dan malam pada akhirnya tidak mampu menyokong peningkatan beban usaha.
Satu perubahan konsep bisnis kuliner, dari rumah makan murni menjadi usaha kuliner dengan bobot lebih banyak ke usaha hiburan malam, menghadirkan kerugian. Akhirnya usaha kuliner itu secara berturut-turut mengalami kesulitan keuangan. Dijual merupakan satu jalan keluar.
Hasil pengambilalihan oleh pihak ketiga hanya cukup untuk menutup ongkos-ongkos, utang kepada pemasok, dan membayar biaya pesangon pegawai (seluruh karyawan di-PHK sebelum beralih ke pemilik baru). Tidak ada bagian untuk pengembalian modal.
Mengabaikan faktor-faktor lain selain faktor yang menjadi fokus perhatian, dipetik pelajaran dari pengalaman kegagalan usaha di atas.
Bahwa sebelum melakukan perubahan konsep bisnis kuliner yang semula sudah stabil, pemilik perlu:
- Menimbang konsekuensi peralihan segmentasi pasar. Dihitung berdasarkan karakteristik, kebutuhan, dan perilaku target konsumen lama dan baru. Mana yang lebih mendatangkan benefit?
- Mengukur lokasi, apakah sesuai dengan produk dijual (makanan, minuman, entertainment).
- Menghitung secara cermat biaya perubahan konsep dan setelahnya.
- Memperhatikan selera pasar berikut gaya hidupnya semata-mata demi membesarkan usaha kuliner, bukan karena selera pengelola atau pemilik.
Jadi, cermati terlebih dahulu mengenai selera, gaya hidup, tujuan dan kebutuhan pengunjung, sebelum mengubah konsep bisnis kuliner. Periksa konsekuensi dari rencana perubahan.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H