Awan seperti kelambu kelabu. Langit abu-abu menyelimuti kota kecil yang sendu. Gigil mengiringi kaki Kasto melangkah ke dalam kedai.
Disambut pemandangan menggentarkan. Sinar terang semburat dari wajah yang biasanya tidak ada. Cahaya berpendar-pendar indah.
Kening Kasto berkerut, siapakah dia?
Akhirnya penguasaan diri membuat rasa takjub meredup. Berlagak tidak merasa apa-apa, lelaki pendatang itu menghempaskan bokongnya di bangku panjang.
"Biasa. Nasi setengah pakai tumis kangkung dan tongkol balado," serunya kepada Emak seraya mencomot tempe goreng berselimut terigu.
Kedua matanya menelanjangi, berusaha menembus wajah ayu tersipu yang menunduk. Lengan pualam menyorongkan pesanan Kasto. Tangan satu lagi melepaskan segelas teh tawar hangat dari genggaman jemari lentik.
Segera Kasto mengalihkan pandangan kepada sendok garpu di tangan, bagian mana yang hendak diciduk untuk dimasukkan terlebih dahulu ke dalam mulut?
Di dalam benak lelaki bujangan membayang makhluk indah baru saja berada di depan mata. Suap demi suap melewati sistem pencerna secara mekanis. Sonder mengecap rasa sebagaimana biasanya.
Pikiran mengambil alih penilaian terhadap makanan, berganti dengan penasaran yang mengambang di dalam kepala.
"Mak, minta kopi tubruk!"
"Tumben?"
"Mumpung tidak diburu-buru."
Berlangsung perbincangan demi perbicangan. Kasto memang langganan tetap, kendati belum tentu setiap hari mampir makan ke warung Emak.
Berbeda dengan Jenal, yang nongkrong setiap hari. Mengisi perut atau sekadar menyeruput kopi.
Oh ya, Jenal merupakan karib Kasto. Mengontrak rumah petak di sekitar, maka ia bisa makan dua tiga kali sehari di warung Emak, mengingat tiada lagi yang menyediakan makanan pun menyeduhkan kopi di tempatnya.
Dua tahun lalu istrinya berpulang.
Dari Jenal Kasto mengenal warung Emak yang ternyata menyediakan hidangan yang cepat akrab dengan lidah pengecap, juga tidak menguras isi kantong. Kasto tidak bisa setiap hari datang sebab rumah dan tempat kerjanya jauh.
Namun dari perjumpaan dengan makhluk paling indah, besoknya Kasto berangkat lebih pagi agar sempat sarapan di Warung Emak. Nasi setengah, tumis kangkung, dan tongkol balado. Taklupa mencomot sepotong tempe goreng berselimut terigu.
Besoknya Kasto berangkat lebih pagi, memesan nasi setengah, tumis kangkung, dan tongkol balado, dan tempe. Taklupa mencomot sepotong tempe goreng berselimut terigu. Besoknya lagi dan lagi.
Sekarang tiap pagi, atau sore hari pulang kerja, Kasto pasti mampir ke warung Emak. Kemudian bertemu Jenal dalam kesempatan yang kerap. Dua karib berbincang tentang masa silam, pekerjaan, dan karyawati Emak yang masih baru.
Jenal pun lebih mudah memecah kebuntuan, "pegawai baru, Mak? Siapa namanya?"
"Kerabat Abah. Iis dari kampung yang jauh, ditinggalkan suami yang minggat dengan wanita lain."
"Mosok sih Mak? Badannya tipis masih seperti gadis."
"Ealah, dikasih tahu gak percaya. Sudah punya anak satu, tahu! Memang usianya baru dua puluh empat."
Cakrawala pemikiran di dalam jiwa Kasto terbentang. Harapan mengembang. Hati dingin menghangat. Gagasan-gagasan untuk memulai pembicaraan bermunculan.
Hari-hari berikutnya diisi pembuka obrolan. Semakin kemari semakin akrab. Dalam diri Kasto tiada lagi sekat pembatas harapan mendekati Iis.
Taman hati kedua insan bersemi. Bunga-bunga memekar memancarkan wangi. Langit cerah tanpa awan. Dunia indah.
Pada satu kesempatan memperoleh cuti dari tempat kerjanya, Kasto menengok kampung halaman. Selain melepaskan rindu kepada adik-adiknya, ia menyampaikan rencana membangun mahligai rumah tangga dengan wanita berbeda suku. Sudah punya anak pula.
Sontak kedua orang tuanya menampik. Keberatan dengan pilihan putranya dengan berbagai alasan yang bisa membatalkan. Namun tutur bahasa lembut lama-lama meluluhkan hati mereka.
Setelah berpikir lama, akhirnya orang tua Kasto merestui. Lagi pula anak lanang tersebut melajang hingga usianya hendak menyentuh kepala tiga.
Seminggu di kampung halaman menerbitkan rindu. Hati berdebar-debar, tidak sabar menjumpai pujaan hati. Pertama menjejakkan kaki kembali di kota kecil itu, jiwa melesat ke warung Emak. Tubuhnya berlari mengikuti dengan menumpang ojek daring.
"Emak! Seperti biasa, nasi setengah, tumis kangkung, dan tongkol balado," seru Kasto gembira sambil mencomot tempe goreng berselimut terigu.
Lanjutnya, "Iis mana? Tidak tampak?"
Wajah Emak mendadak muram menahan kesal, "sudah tiga hari menghilang entah ke mana. Dicari di kampung takada."
Kasto menganga. Tanpa menyelesaikan makan, lelaki berkobar asmara bangkit dari tempat duduk, berlari menuju salah satu pintu di antara rumah petak berderet-deret. Mengetuk serta memanggil sebuah nama.
Menyembul kepala dari pintu sebelah, "sudah tiga hari dia tak pulang!"
"Hah...???"
Awan berubah menjadi kelambu kelabu. Langit abu-abu menyelimuti kota kecil yang sendu. Pilu. Gerimis menggigil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H