"Kerabat Abah. Iis dari kampung yang jauh, ditinggalkan suami yang minggat dengan wanita lain."
"Mosok sih Mak? Badannya tipis masih seperti gadis."
"Ealah, dikasih tahu gak percaya. Sudah punya anak satu, tahu! Memang usianya baru dua puluh empat."
Cakrawala pemikiran di dalam jiwa Kasto terbentang. Harapan mengembang. Hati dingin menghangat. Gagasan-gagasan untuk memulai pembicaraan bermunculan.
Hari-hari berikutnya diisi pembuka obrolan. Semakin kemari semakin akrab. Dalam diri Kasto tiada lagi sekat pembatas harapan mendekati Iis.
Taman hati kedua insan bersemi. Bunga-bunga memekar memancarkan wangi. Langit cerah tanpa awan. Dunia indah.
Pada satu kesempatan memperoleh cuti dari tempat kerjanya, Kasto menengok kampung halaman. Selain melepaskan rindu kepada adik-adiknya, ia menyampaikan rencana membangun mahligai rumah tangga dengan wanita berbeda suku. Sudah punya anak pula.
Sontak kedua orang tuanya menampik. Keberatan dengan pilihan putranya dengan berbagai alasan yang bisa membatalkan. Namun tutur bahasa lembut lama-lama meluluhkan hati mereka.
Setelah berpikir lama, akhirnya orang tua Kasto merestui. Lagi pula anak lanang tersebut melajang hingga usianya hendak menyentuh kepala tiga.
Seminggu di kampung halaman menerbitkan rindu. Hati berdebar-debar, tidak sabar menjumpai pujaan hati. Pertama menjejakkan kaki kembali di kota kecil itu, jiwa melesat ke warung Emak. Tubuhnya berlari mengikuti dengan menumpang ojek daring.
"Emak! Seperti biasa, nasi setengah, tumis kangkung, dan tongkol balado," seru Kasto gembira sambil mencomot tempe goreng berselimut terigu.