Tarik napas sejenak. Berdoa. Tekadkan hati untuk maju terus pantang mundur apa pun yang terjadi. Paling-paling kalaupun jatuh mesti pulang ke rumah sakit atau tempat pemakaman umum.
Menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati. Berujung di rumah-rumah warga dengan pipa mengalirkan air jernih, berasal dari resapan sungai jauh di atas. Gratis. Tidak ada sambungan pipa PDAM.
Setelah tikungan terakhir, melewati jalan berliku penuh debu menjemput rindu (ah, lebay), sampailah ke gang lebih lapang. Cukup longgar untuk lebar mobil.
Satu rumah menarik perhatian. Rumah gaya dahulu kala dengan sepertiga bagian dari dinding bawahnya terbuat dari papan. Bagian atas adalah dinding anyaman bambu diserut tipis (bilik, gedek) yang dilabur dengan kapur. Topian merupakan konstruksi kayu dengan atap seng gelombang ditopang struktur besi yang artistik.
Cakep banget! Asri. Masih orisinal, kendati terdapat beberapa bagian atap sudah lapuk. Cukup lama saya berada di depan rumah itu. Terpesona.
Bergerak selangkah lagi, maka tibalah pada tembok dengan lukisan pagar besi, yang diapit oleh gambar penjaga khas kerajaan Inggris (mungkin ya, karena saya belum pernah sampai Inggris). Maju ke depan, menjumpai pintu kayu gaya Jepang.
Oh ya, masih ada tulisan tangan "jendela dunia" ditandatangani oleh Walikota Bogor, Bima Arya. Juga tulisan tangan wakilnya, Dedi Rachim. Pesan-pesan itu menempel pada pigura kayu bertanggal 7 Maret 2019. Saat kampung tematik sedang ramai-ramainya dikunjungi.