Bak lampu pemindai mesin fotokopi, wanita itu menjelajahi tubuhku. Dari atas ke bawah. Dari bawah ke atas. Matanya memancarkan takjub.
Aku datang setelah gagal memasuki Museum Perjuangan Bogor yang pintunya enggan membuka. Berjalan kaki lagi sejauh lima ratus meter menuju sebuah gedung lawas.Â
Di halaman kanannya dua bus pariwisata beristirahat. Hanya parkir. Hari itu tiada satu pun manusia mendatangi Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia.
Pria satpam mengikuti langkah, berlari kecil memanggil seseorang yang meninggalkan konter informasi sekaligus tempat pembelian tiket. Wanita berbadan subur keluar dari pintu kayu seraya membenahi rambut. Berhenti sejenak. Ragu-ragu.
"Maaf..., ada perlu apa? Oh, atau mau berkunjung? Tiketnya dua puluh lima ribu per-orang"
Bak lampu pemindai mesin fotokopi, wanita itu menjelajahi tubuhku. Dari atas ke bawah. Dari bawah ke atas. Matanya memancarkan takjub.
Dengan canggung aku menyerahkan lembaran berwarna merah, "ada yang salah dengan penampilanku?"
"Oh tidak. Tidak. Tidak kenapa kenapa. Ada uang pas?"
"Itu yang paling kecil. Seukuran koran masih dijemur di rumah."
Wanita itu mengikik, menjepit beberapa lembaran dari sebuah dompet panjang.