Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Bisnis Boleh Sama, tapi Tidak Bisa Diduplikasi Begitu Saja

24 Agustus 2022   07:07 Diperbarui: 24 Agustus 2022   13:09 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apes dah! Omzet lagi bagus-bagusnya, warung kopi dan jajanan terpaksa harus ditutup. Padahal tinggal menunggu balik modal. Harus bagaimana lagi?

Membuka usaha warkop menyimpan cerita keberhasilan, sekaligus tenggelamnya, menjadi pelajaran tersendiri. Sekian tahun lalu. 

Periode awal menjalankan bisnis konstruksi, saya sempat membangun usaha warung kopi. Kecil. Hasilnya mungkin tak seberapa.

Saya mendapat tawaran untuk mengisi satu kios kosong. Satu sisi menghadap ke arah jalan adalah jendela bisa dibuka melebar ke atas. Pintu masuk dari samping.

Ke arah belakang berderet empat pintu. Penghuni kontrakan itu menggunakan kamar mandi umum di bagian paling ujung. Di sampingnya terdapat lima pintu kontrakan lebih besar dengan kamar mandi dalam. Diselingi jalan kerikil untuk keluar masuk sepeda motor dan hilir mudik penghuni. 

Bagian depan berukuran terbesar adalah warung internet (waktu itu tahun 2009) yang ramai dikunjungi anak-anak bermain game dan mereka yang memerlukan koneksi kencang. Pemilik kontrakan menempati rumah kecil yang tidak tampak dari jalan.

Semua tempat terisi, kecuali kios di depan. Konon tadinya ditempati penjual nasi rames. Atau nasi uduk dan gorengan?

Tidak ada informasi valid mengenai Itu. Kemudian ia bangkrut tidak bisa membayar biaya sewa. Selanjutnya tidak ada lagi yang menempati.

Kios dan kontrakan berada di dalam. Tidak mudah terlihat dari jalan. Umumnya para pelintas baru menyadari keberadaan warung sesudah melewati. Warkop laku biasanya berada di sisi jalan ramai.

Desakan teman, yaitu pemilik kontrakan, dan harga sewa bulanan murah membuat saya menyerah.

Saya mulai dengan menghitung segala kemungkinan demi meraih keuntungan. Kerennya, merakit proyeksi keuangan jangka setahun. 

Lalu mengisi kios dengan kompor, tabung gas, peralatan memasak, kopi dan minuman saset beragam merek, mi instan, dan sebagainya. Dan merekrut adik laki-laki dari ART di rumah.

Bukankah kita mesti serius, kendati menjalankan usaha kecil?

Ilustrasi warung kecil kebutuhan sehari-hari (dokumen pribadi)
Ilustrasi warung kecil kebutuhan sehari-hari (dokumen pribadi)

Untuk tiga atau empat bulan pertama saya masih merogoh kantong untuk menutup kekurangan biaya operasional (sewa tempat, gaji, belanja modal). Setelah itu tangan berhenti membuka dompet.

Sedikit demi sedikit usaha warung kopi menampakkan hasil. Tiga bulan beroperasi, warung mencapai titik impas. Poin di mana memperoleh nol keuntungan atau tidak mengalami kerugian.

Bulan-bulan berikutnya adalah menarik laba. Warung ramai pembeli, ditandai oleh persediaan yang habis atau menipis pada akhir hari. Beberapa kiat diterapkan berpengaruh terhadap kinerja usaha:

  • Memenuhi kebutuhan pelanggan warnet, dari mulai jajanan anak, kopi seduh, rokok, mi instan (jual mentah dan matang), hingga gorengan (tempe, bakwan, risoles).
  • Merespons kebutuhan penghuni kontrakan, seperti bumbu saset, pasta gigi ukuran kecil, sabun cuci kemasan kecil.
  • Menyediakan jasa upload dalam tender. Saat itu banyak teman yang pemborong gaptek, tidak mampu menyusun dan menayangkan dokumen penawaran untuk lelang. Maklum, e-procurement baru dikenalkan.
  • Para pemborong menunggu di warung sambil jajan. Saya dan teman-teman yang mahir administrasi mengunggah dokumen lelang.
  • Menyediakan satu menu unik sebagai daya tarik pembeli, misalnya minuman bandrek yang tidak tersedia di warung sekitar.

Demikian langkah-langkah yang saya lakukan demi menyiasati lokasi kurang menguntungkan untuk membuka warung. 

Namun bukan itu yang menjadi ulasan dalam artikel ini.

***

Setelah sembilan bulan beroperasi, pemilik kontrakan menginformasikan: bulan depan agar saya berkemas-kemas dan mencari tempat lain. Ia akan merenovasi warung menjadi tempat kontrakan.

Apes dah! Omzet lagi bagus-bagusnya, warung kopi dan jajanan terpaksa harus ditutup. Padahal tinggal menunggu balik modal. Harus bagaimana lagi?

Maka pada bulan terakhir berdagang, saya menjual produk dengan harga modal. Tidak menarik keuntungan sama sekali. Supaya barang persediaan segera habis, juga sebagai bentuk "perpisahan" dengan pelanggan.

Singkat cerita, saya meninggalkan warung dan pegawai dialihkan kepada kegiatan lain. Saya berpikir jernih, pasrah kepada keadaan dan fokus ke pengembangan pekerjaan utama, yaitu bisnis konstruksi atau pemborongan pekerjaan dari Pemda.

Satu ketika melalui depan mantan warung. Atau warung mantan? Belum berubah bentuk. Bahkan di bagian depan dipajang aneka kopi saset dan penganan dalam kemasan. Sepintas terlihat bungkus mi instan aneka rupa.

Oalah, rupanya masih difungsikan sebagai warung kopi dan jajanan.

Apakah pengelolanya pemilik kontrakan sendiri atau penyewa, saya tidak berusaha mencari informasi. Yang pasti, pemilik kontrakan telah berbohong kepada saya. Kalau bermaksud menaikkan harga sewa, ya tinggal bilang kepada saya. Sesederhana itu.

Tak mengapa. Saya memiliki kesibukan sendiri.

Sekian waktu kemudian saya melewati jalan depan warung. Sepi!

Tiada barang apa pun dipajang. Jendela lebar yang bisa dibuka ke atas tertutup rapat. Warung tutup. Tiap melalui jalan itu warung tidak pernah buka lagi untuk waktu yang entah.

Bisa jadi pemilik kontrakan ingin meniru kisah keberhasilan sebelumnya. Dengan menduplikasi usaha yang pernah saya jalankan. Dengan produk sama. Di tempat sama. Meniru langkah dan strategi yang sama.

Tidak berhasil. Kendati sifatnya sama, saya percaya bahwa tiap usaha memiliki cara penanganan unik, baik dari produk hingga pelayanan.

Jadi satu bisnis tidak mudah diduplikasi begitu saja, meski bersifat sama. Perlu penyesuaian-penyesuaian agar sama berhasilnya.

Tidak gampang mengikuti begitu saja cara orang yang sudah berhasil dalam bisnis serupa. Jangan jadi follower! Kreatif sedikitlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun