Aku menulis di sepotong kertas bekas bungkus, pada bagian kosong, angka satu diikuti banyak nol. Melipat menjadi empat. Melemparkan ke air deras.
Naik turun, hanyut mengikuti aliran menggelegak akibat pertemuan dua sungai dari gunung berbeda.
Perpindahan air dari atas membawa butir-butir tanah yang tidak diikat oleh hijauan, apalagi akar pepohonan yang mana kayunya telah menjadi tiang, pintu, dan jendela rumah.
Mengalir deras tidak peduli batu-batu kecil menggelinding pasrah. Bila menabrak batu kokoh, akan memecahkan diri menjadi kepingan-kepingan yang kemudian pada ujungnya berkumpul kembali. Dua aliran meluap-luap bertumbukan. Bertemu. Tempuran.
Pertempuran berlaku sangat cepat, menggelombang-gelombang dengan buih-buih berlompatan. Bersuara lebih dahsyat daripada hujan yang paling lebat.
Kita tidak bakal mengetahui, air mana yang berasal dari gunung Salak atau yang berhulu di puncak Gunung Pangrango. Alam tidak sempat membahas perbedaan, pun warna dan asal muasal.Â
Semua diperlakukan setara. Serupa anak-anak kandung bertengkar. Lalu damai menyelimuti.
Kemudian inspirasi ini dan, tentu saja, energi dari pertempuran tanpa pertumpahan darah menghadirkan ketenangan bagiku yang sedang mengalami pergolakan batin.
Kepada Sungai Harapan aku menyampaikan keluh kesah, menumpahkan amarah, dan menitipkan percikan asa agar bangkit dari kesulitan.
Tidak sedikit orang memercayainya. Pada malam-malam Jumat Kliwon, terutama malam Suro, berbondong-bondong orang dari berbagai kalangan mendatangi Sungai Harapan. Tidak terkecuali para wanita yang mengenakan pakaian tertutup dan berkerudung sesuai hukum.
Dengan menyerap energi, seraya kumkum di bagian kali tidak terlalu deras. Pada malam hari, baik laki-laki maupun perempuan, berendam berjam-jam dengan hikmat melangitkan niat . Memakai pakaian lengkap bagi yang membawa baju cadangan, atau menggunakan baju renang.
Jangan menanyakan dinginnya. Coba saja sendiri! Bagi yang bersungguh-sungguh, merendam diri di malam hari tidak merasakan suhu rendah menggigit tulang.
"Larungkan harapan pada aliran sungai," sepertinya seorang pemimpin dari sekumpulan pengikut bergumam.
"Iyakah?"
"Asalkan berniat tulus, melakukan dengan serius, maka penyakit akan diangkat, keinginan-keinginan dikabulkan, kesulitan akan menemukan jalan keluarnya sendiri."
Aku banyak bertanya. Lelaki berambut kuncir itu pun banyak menjawab.
Malam masih panjang untuk melakukan ritual sesuai arahan. Pada harapan paling pucuk, aku menulis di sepotong kertas bekas bungkus, pada bagian kosong, angka satu diikuti banyak nol. Melipat menjadi empat. Melemparkan ke air deras.
Setelah bergulung-gulung terbawa arus menabrak-nabrak batuan, kertas lenyap dari pandangan.
Tiba-tiba beban terasa hilang. Langkah pulang menjadi ringan. Aku kembali menghadapi kenyataan. Realitas hidup pahit.
Semenjak keluar dari pekerjaan dalam masa pandemi kemarin, aku bekerja serabutan. Menjalankan berbagai usaha demi menghidupi keluarga.
Keputus-asaan mencekik, ketika aku memperoleh pencerahan yang mengantarkan ke Sungai Harapan. Sebuah jalan keluar alternatif bagi pemuja keinginan.
***
Berkat para kenalan, aku akhirnya menemui seorang pengusaha. Penampilannya perlente. Apa yang dikenakannya merupakan pajangan merek.
Beliau membutuhkan partner yang dapat dipercaya, tidak neko-neko, pandai pula menyimpan rahasia.
Tak lama ia menyerahkan sejumlah uang agar aku mendirikan perusahaan landromart atau bisnis pencucian pakaian. Ia menanggung penanaman modal untuk investasi ataupun modal kerja.
Sejenak aku teringat Sungai Harapan.
Namun demikian, ia tidak ingin namanya ditulis pada akta notaris maupun dalam arsip perusahaan. Tiada kehendak menorehkan sedikit pun jejak keterlibatan di dalam bisnis pencucian pakaian tersebut.
"Engkau saja," katanya, dengan menaruh kepercayaan sangat mendalam kepada diriku.
Kendati usaha belum banyak mendatangkan pelanggan, tetapi perusahaan mencatatkan pemasukan fantastis. Rekening menggelembung.
Tapi --ya itulah-- aku harus menjaga kepercayaan. Tidak menyentuhnya sepeser jua. Biar lelaki perlente itu yang akan menata. Pekan depan ia akan menjumpai aku.
Aku sangat senang harapan berkembang sesuai keinginan usai mendatangi Sungai Harapan.
Pada hari Senin pagi aku memakai setelan terbaik. Pada atas meja di mana tadinya terletak menu sarapan, aku membersihkan secara saksama. Tidak boleh ada debu, apalagi tumpahan seduhan kopi. Aku hendak menulis dengan hati-hati.
Kertas panjang aku gurat dengan pena terbaik: tempat dan tanggal; menulis "tunai"; menarasikan angka dengan sembilan nol. Terakhir menandatangani dan membubuhkan stempel.
Ketika berjumpa, lelaki perlente menjabat erat tanganku dengan kedua tangannya. Wajahnya menggambarkan kegembiraan. Kami bercakap-cakap sebentar saling bertanya kabar, sebelum menuju meja teller.
Kertas persegi ditukar dengan tumpukan uang yang akan digunakan sebagai modal awal lagi di bisnis landromart berikutnya. Di tempat berbeda.
Setelah memasukkan uang ke dalam tas ransel, lelaki berkacamata hitam itu menyerahkan amplop tebal berwarna cokelat.
"Ini untuk kamu. Cukupkah?"
Aku berseri-seri, ingin segera pulang menemui istriku.
Kendati kelak aku tidak pernah membayangkan, sekalipun dalam mimpi, betapa banyak pria berseragam serba hitam mengurung rumah.
Sebagian menerjang, menendang garang. Â Sisanya berjaga-jaga dengan waspada. Terlalu waspada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H