***
Berkat para kenalan, aku akhirnya menemui seorang pengusaha. Penampilannya perlente. Apa yang dikenakannya merupakan pajangan merek.
Beliau membutuhkan partner yang dapat dipercaya, tidak neko-neko, pandai pula menyimpan rahasia.
Tak lama ia menyerahkan sejumlah uang agar aku mendirikan perusahaan landromart atau bisnis pencucian pakaian. Ia menanggung penanaman modal untuk investasi ataupun modal kerja.
Sejenak aku teringat Sungai Harapan.
Namun demikian, ia tidak ingin namanya ditulis pada akta notaris maupun dalam arsip perusahaan. Tiada kehendak menorehkan sedikit pun jejak keterlibatan di dalam bisnis pencucian pakaian tersebut.
"Engkau saja," katanya, dengan menaruh kepercayaan sangat mendalam kepada diriku.
Kendati usaha belum banyak mendatangkan pelanggan, tetapi perusahaan mencatatkan pemasukan fantastis. Rekening menggelembung.
Tapi --ya itulah-- aku harus menjaga kepercayaan. Tidak menyentuhnya sepeser jua. Biar lelaki perlente itu yang akan menata. Pekan depan ia akan menjumpai aku.
Aku sangat senang harapan berkembang sesuai keinginan usai mendatangi Sungai Harapan.
Pada hari Senin pagi aku memakai setelan terbaik. Pada atas meja di mana tadinya terletak menu sarapan, aku membersihkan secara saksama. Tidak boleh ada debu, apalagi tumpahan seduhan kopi. Aku hendak menulis dengan hati-hati.
Kertas panjang aku gurat dengan pena terbaik: tempat dan tanggal; menulis "tunai"; menarasikan angka dengan sembilan nol. Terakhir menandatangani dan membubuhkan stempel.