Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Drama PPDB atau Penerimaan Siswa Baru Tempo Dulu

30 Juni 2022   08:57 Diperbarui: 30 Juni 2022   09:21 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa masuk sekolah baru oleh JhonDL dari pixabay.com

Ini bukan tentang hadiah untuk guru --gratifikasi-- setelah pembagian rapor. Tetapi mengenai praktik pungli pada saat penerimaan siswa baru di sekolah berikutnya.

Gratifikasi yang tidak dilaporkan kepada KPK dan pungutan liar sebangun dengan korupsi. Kita bermimpi suatu saat praktik perbuatan curang itu lenyap dari bumi Pertiwi tercinta.

***

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2022 telah dibuka. Siswa baru akan mulai duduk di bangku SMP, SMA, dan SMK Negeri pada pertengahan bulan Juli mendatang.

Proses PPDB, khususnya di provinsi Jawa Barat, dapat dilihat di sini.

Anak saya mengalami prosedur memasuki SMP Negeri di sekitar satu dekade lampau. Proses tersebut disebut PPDB atau apa, saya tidak mampu mengingatnya. Anggaplah namanya sama, PPDB. Toh maknanya serupa: penerimaan siswa baru!

PPDB SMP Tahun 2009

Tiga belas tahun lalu, anak saya mengikuti PPDB pada sebuah SMPN favorit. Prosesnya belum online. Jadi berkas-berkas dikirim secara manual. Belum ada penerapan zonasi, sehingga anak saya memilih sekolah terbaik di Kota Bogor.

Selanjutnya, mengikuti tes tertulis dan wawancara. Saya percaya bahwa ia dengan mudah akan lolos.

Mengikuti pengumuman, sekolah mengundang orang tua agar mendaftar-ulangkan anaknya. Setelahnya, berlangsung perkenalan dan pertemuan dengan pihak komite. Diketahui, lembaga ini merupakan wadah komunikasi para orang tua.

Di dalam pertemuan, komite bercerita tentang prestasi anak didik selama ini dan visi misi. Bahwa pihak sekolah dan orang tua menginginkan sekolah paling unggul.

Ujung-ujungnya berisi keluhan tentang defisit anggaran penyelenggaraan pendidikan dan pembangunan gedung. Kemudian persoalan biaya menjadi topik bahasan utama. Saya pun mulai gelisah.

Dengan cerdik pihak komite yang menguasai panggung menyebut sejumlah nilai, di tengah orang tua yang canggung.  Sebagian peserta menyampaikan usulan. Sebagian besar diam, menarik napas yang tiba-tiba sesak.

Seorang ibu wali dari murid baru dengan lantang memberikan pendapat. Seraya menempelkan tisu di leher berlemak penuh keringat, dengan semangat menyetujui nilai uang gedung dan SPP diusulkan (sekarang mungkin namanya iuran pendidikan atau apa).

Serentak pengurus komite memberikan applaus. Sedetik kemudian para peserta ikut bertepuk-tangan. Terpaksa.

Seusai pertemuan, bersama-sama dengan orang tua lainnya, bergiliran masuk ke ruang kelas untuk wawancara.

Pertanyaan berkisar tentang latar belakang pekerjaan dan lain-lain. Paling pokok adalah pertanyaan mengenai kesanggupan memenuhi "kewajiban" yang telah disepakati secara aklamasi di dalam sidang para orang tua.

Ditutup dengan menandatangani pernyataan, akan membayar iuran bulanan dengan tertib dan menyelesaikan uang gedung. Uang bulanan bahkan lebih besar daripada iuran sejenis di SMA Negeri, tiga tahun kemudian.

Saya membayar uang pangkal sebesar Rp 7,5 juta (di tahun 2009 lho!) secara bertahap dalam semester berjalan. Mungkin orang lain bisa melunasi sekaligus, meski tak sedikit yang mengiba minta keringanan.

Selain menghadapi fait accompli, atau ketetapan yang sudah diputuskan tanpa menyisakan pilihan, orang tua dari anak didik baru juga membeli seragam yang didesain khusus.

Pungutan Liar

Oleh karena itu, saya merasakan bahwa uang gedung, iuran bulanan, dan uang seragam yang nominalnya ditentukan secara sepihak oleh komite merupakan satu bentuk pungutan liar. Dalam hati. Kenyataannya, keadaan musyawarah secara intimidatif mengarahkan ke jumlah tersebut.

Walaupun aturan (Permendikbud nomor 75 tahun 2016) menyatakan bahwa komite, baik secara perseorangan maupun kolektif, dilarang melakukan pungutan dari orang tua peserta didik. Dalam mana sekolah hanya boleh meminta sumbangan sukarela dan tidak memaksa.

Ibnu Syamsu Hidayat menyebut, pelaku pungutan liar kala PPDB mengamuflase atau menyamarkan praktik ini menjadi sesuatu yang sah secara hukum (melalui "kesepakatan" dalam musyawarah), sehingga ketika terbongkar tidak memenuhi unsur kejahatan. Perbuatan ini bisa lolos dari tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, Advokat Themis Indonesia Law Firm itu menyimpulkan, bahwa pungutan tersebut walau dari segi syarat subyektif sah, tidak memenuhi syarat obyektif, maka berdampak pada perjanjian yang batal demi hukum. (Kamuflase Pungutan Liar Dunia Pendidikan, Ibnu Syamsu Hidayat, Kompas.id 29 Juni 2022)

Saya sebagai orang tua demikian terbawa perasaan, anak diterima di sekolah favorit. Masuk sekolah nomor wahid paling diinginkan di Kota Bogor. Terbersit kekhawatiran, apabila menyampaikan kritik, atau melawan keputusan musyawarah di atas, bisa berakibat terhadap kelancaran pendidikan anak.

Mungkin juga sikap saya terlalu naif menerima begitu saja praktik pungutan liar dalam penerimaan siswa-siswi baru.

Jadi, saya tunduk lalu patuh memenuhi ketentuan jumlah dibayar. Ketetapan di atas merupakan kesepakatan yang mau tidak mau, suka tidak suka, terpaksa diiyakan. Daripada benjol!

Belakangan diketahui, ibu berdandan bak sosialita yang menginisiasi persetujuan atas jumlah pungutan bukan orang baru di sekolah itu. 

Ketika pulang, menaiki Mercedes Benz silver bersama anaknya yang baru diterima, dan putranya yang lebih dulu duduk di sekolah favorit tersebut.

Ah, ternyata ada drama satu babak pada pertemuan setelah PPDB atau penerimaan siswa-siswi baru. Itu kejadian tempo dulu. Tiga belas tahun lalu.

Akhirul Kata

Harapan terbesar adalah, pada masa kini praktik pungutan liar selama PPDB tidak terjadi lagi.

Orang tua yang anaknya diterima pasti patuh kepada kesepakatan, tetapi seyogianya tidak berkompromi dengan praktik pungutan liar. Demikian pula hadiah untuk guru. 

Bukankah kita bersepakat tidak mencontohkan perbuatan curang (pungli, gratifikasi, korupsi, dan semacamnya) kepada anak-anak dalam segala segi?

Atau ada yang tidak sependapat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun