Ujung-ujungnya berisi keluhan tentang defisit anggaran penyelenggaraan pendidikan dan pembangunan gedung. Kemudian persoalan biaya menjadi topik bahasan utama. Saya pun mulai gelisah.
Dengan cerdik pihak komite yang menguasai panggung menyebut sejumlah nilai, di tengah orang tua yang canggung. Sebagian peserta menyampaikan usulan. Sebagian besar diam, menarik napas yang tiba-tiba sesak.
Seorang ibu wali dari murid baru dengan lantang memberikan pendapat. Seraya menempelkan tisu di leher berlemak penuh keringat, dengan semangat menyetujui nilai uang gedung dan SPP diusulkan (sekarang mungkin namanya iuran pendidikan atau apa).
Serentak pengurus komite memberikan applaus. Sedetik kemudian para peserta ikut bertepuk-tangan. Terpaksa.
Seusai pertemuan, bersama-sama dengan orang tua lainnya, bergiliran masuk ke ruang kelas untuk wawancara.
Pertanyaan berkisar tentang latar belakang pekerjaan dan lain-lain. Paling pokok adalah pertanyaan mengenai kesanggupan memenuhi "kewajiban" yang telah disepakati secara aklamasi di dalam sidang para orang tua.
Ditutup dengan menandatangani pernyataan, akan membayar iuran bulanan dengan tertib dan menyelesaikan uang gedung. Uang bulanan bahkan lebih besar daripada iuran sejenis di SMA Negeri, tiga tahun kemudian.
Saya membayar uang pangkal sebesar Rp 7,5 juta (di tahun 2009 lho!) secara bertahap dalam semester berjalan. Mungkin orang lain bisa melunasi sekaligus, meski tak sedikit yang mengiba minta keringanan.
Selain menghadapi fait accompli, atau ketetapan yang sudah diputuskan tanpa menyisakan pilihan, orang tua dari anak didik baru juga membeli seragam yang didesain khusus.
Oleh karena itu, saya merasakan bahwa uang gedung, iuran bulanan, dan uang seragam yang nominalnya ditentukan secara sepihak oleh komite merupakan satu bentuk pungutan liar. Dalam hati. Kenyataannya, keadaan musyawarah secara intimidatif mengarahkan ke jumlah tersebut.