Gagasan utama peletakan usaha kuliner adalah lokasi strategis. Dulu. Kini dengan ruang tidak ideal pun bisa berjaya dalam berjualan makanan minuman.
Awal hari cerah. Cocok untuk melenturkan otot-otot kaki, kendati sedikit jauh dari rumah. Pada satu gang sempit tampak tulisan: "Gado-gado Mba I". Langkah akhirnya mengikuti tanda panah. Tubuh menghempas ke bangku plastik.
Warung sederhana dengan barang dagangan utama berupa gado-gado, ketoprak, rujak ulek, asinan, dan karedok. Harga bervariasi, Rp 14-17 ribu.Â
Jajanan pendamping: kerupuk asoy, kerupuk mi, enyek-enyek)*, gorengan, buras, kopi sasetan seduh. Dengan harga berkisar dari Rp 1.250 hingga Rp 5 ribu.
Ada tiga wanita paruh baya --sepertinya tetangga dekat-- duduk di kursi panjang. Satu menunggu pesanan gado-gado. Dua orang lainnya sedang memainkan telepon di genggaman. Emak-emak zaman now banget!Â
Saya hanya memesan kopi seduh. Awalnya. Lalu ngemil kerupuk mi setelah melihatnya di dalam toples plastik. Gurih. Tambah satu lagi. Habis. Ganti mencomot oncom hitam (menjes) goreng, lalu melahap pisang goreng, buras isi oncom, dan camilan lain.
Terakhir, menyeruput kopi sambil ngobrol dengan Bu Miskem, pemilik warung gado-gado Mba I. Oh ya, rupanya "Mba I" merek dagang, berasal dari sebutan orang sekitar yang berarti mbah'e.
Bu Miskem mengisahkan, sebelum ini warung di halaman rumahnya itu sepi. Baru setahun terakhir ia mendaftarkan outlet-nya ke aplikasi penyedia jasa pesan-antar makanan.
Terlihat stiker tiga perusahaan jasa e-Delivery terbesar di Indonesia menempel pada kaca etalase.
Bukan Bu Miskem yang melamar menjadi merchant, tetapi anaknya. Putranya lebih familiar dengan dunia digital. Bu Miskem cuma "mencet-mencet" HP ketika menerima pesanan. Hasil penjualan secara daring masuk ke dompet digital.
Jadi pendaftaran merchant dan rekening adalah urusan putranya, yang berprofesi sebagai pengemudi ojol.
Rata-rata penjualan harian melalui e-Delivery sekitar 10 pemesanan, dengan tren menaik. Pada akhir pekan meningkat dua hingga tiga kali lipat. Tak jarang satu konsumen memesan lebih dari satu item. Bisa lima bungkus sekaligus.
Berbeda dengan pelanggan dine-in dan take-away. Umumnya pembeli semacam ini berasal dari tetangga sekitar dan pelintas seperti saya.
Tidak banyak. Rata-rata kurang dari lima pembeli dalam sehari. Ditambah satu dua tetangga nongkrong.
Berbeda dengan warung serupa, yang berjarak 100-150 meter, di tepi jalan ramai dilalui orang. Satu ketika saya sempat melihat 3-4 sepeda motor parkir, sementara pengendaranya menyantap gado-gado. Itu dalam satu momen. Selama buka, diperkirakan, warung pinggir jalan itu dikunjungi lebih dari 15 pembeli.
Dengan kata lain, meskipun terpencil di dalam gang sempit, warung sederhana itu menjual lebih banyak via daring, dibanding pesanan di tempat. Penjualan meningkat berkat penggunaan aplikasi pesan-antar makanan (e-Delivery).Â
Pelaku bisnis kuliner di lokasi kurang strategis boleh juga meniru keberhasilan Bu Miskem.
***
Menutup pembicaraan, saya menandaskan kerupuk mi di piring. Lalu bertanya total tagihan atas:
- Secangkir kopi.
- Dua kerupuk mi.
- Satu kerupuk asoy (1,5 kali lingkaran piring)
- Satu buras (lontong isi oncom).
- Satu pisang goreng.
- Satu oncom hitam (menjes) goreng.
- Sebungkus pepes oncom
- Sepiring remahan kerupuk mi.
"Semuanya sepuluh ribu rupiah," ujar Bu Miskem.
"Haaah...?"
)* enyek-enyek: keripik terbuat dari bubur singkong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H