Terakhir, menyeruput kopi sambil ngobrol dengan Bu Miskem, pemilik warung gado-gado Mba I. Oh ya, rupanya "Mba I" merek dagang, berasal dari sebutan orang sekitar yang berarti mbah'e.
Bu Miskem mengisahkan, sebelum ini warung di halaman rumahnya itu sepi. Baru setahun terakhir ia mendaftarkan outlet-nya ke aplikasi penyedia jasa pesan-antar makanan.
Terlihat stiker tiga perusahaan jasa e-Delivery terbesar di Indonesia menempel pada kaca etalase.
Bukan Bu Miskem yang melamar menjadi merchant, tetapi anaknya. Putranya lebih familiar dengan dunia digital. Bu Miskem cuma "mencet-mencet" HP ketika menerima pesanan. Hasil penjualan secara daring masuk ke dompet digital.
Jadi pendaftaran merchant dan rekening adalah urusan putranya, yang berprofesi sebagai pengemudi ojol.
Rata-rata penjualan harian melalui e-Delivery sekitar 10 pemesanan, dengan tren menaik. Pada akhir pekan meningkat dua hingga tiga kali lipat. Tak jarang satu konsumen memesan lebih dari satu item. Bisa lima bungkus sekaligus.
Berbeda dengan pelanggan dine-in dan take-away. Umumnya pembeli semacam ini berasal dari tetangga sekitar dan pelintas seperti saya.
Tidak banyak. Rata-rata kurang dari lima pembeli dalam sehari. Ditambah satu dua tetangga nongkrong.
Berbeda dengan warung serupa, yang berjarak 100-150 meter, di tepi jalan ramai dilalui orang. Satu ketika saya sempat melihat 3-4 sepeda motor parkir, sementara pengendaranya menyantap gado-gado. Itu dalam satu momen. Selama buka, diperkirakan, warung pinggir jalan itu dikunjungi lebih dari 15 pembeli.
Dengan kata lain, meskipun terpencil di dalam gang sempit, warung sederhana itu menjual lebih banyak via daring, dibanding pesanan di tempat. Penjualan meningkat berkat penggunaan aplikasi pesan-antar makanan (e-Delivery).Â