Pukul sepuluh pagi saya berjalan ke perkampungan di belakang kompleks. Mengunjungi warung penjualan kopi dan gorengan. Ingin ngopi saja.
Ternyata gerai tersebut belum beroperasi. Dari balik rolling door separuh terbuka, Bu Yanti sang penjual sedang menggoreng ayam dan ikan mujair.
Meja yang biasanya terletak wadah aneka gorengan berubah. Sekarang di atasnya terdapat pajangan kaca berisi berbagai lauk dan bertuliskan: Masakan Padang Serba 10000.
Berubah jenis komoditas diperjualbelikan! Dari menjual kopi dan gorengan menjadi gerai penjualan aneka masakan Padang. Rupanya warung itu mereposisi produknya.
Reposisi produk berkaitan dengan letak produk dalam benak pembeli. Posisi produk menjelaskan bagaimana pelanggan memandang produk dan membandingkan dengan pesaing. Oleh karenanya, reposisi adalah mengubah produk secara drastis agar lebih menyesuaikan dengan, dan diterima oleh, pasar yang disasar atau target market (sumber).
Pelaku usaha menilai barang keluaran sebelumnya tidak mampu berperan banyak, dalam upaya peningkatan pendapatan. Produksi maksimum gorengan senilai seribu rupiah per-potong adalah dua ratus buah setiap hari.
Konsumen memandangnya sebagai makanan ringan. Berharap ada produk makanan jadi. Maka, alasan-alasan yang mendasari perubahan strategi itu, antara lain:
1. Situasi Penjualan Stagnan
Alterasi berupa masakan Padang dengan nilai jual lebih tinggi berpotensi menghasilkan penjualan tinggi pula, kendati modal dibutuhkan menjadi lebih besar.
2. Merespons Kondisi Persaingan
Persaingan usaha sejenis di lingkungan sekitar tidak terlalu ketat. Warung penyedia masakan-jadi masih jarang, dibanding penjual gorengan.
3. Perubahan Target Pembeli
Alterasi produk dibuat untuk membidik calon pembeli dan pelintas yang membutuhkan masakan matang berharga murah dengan mutu baik.
4. Implementasi Kemampuan Memasak
Bu Yanti pemilik warung telah berpengalaman mengolah masakan Padang. Ia menjamin mutu masakan yang dikenal kuat bumbu itu tetap terjaga, meski berharga murah.
Menurut penuturannya, ia sempat menjadi cook di rumah makan Padang yang tersohor enak di wilayah Bogor.
Mari kita lihat, bagaimana hasil penerapan strategi itu.
Warung itu ternyata menerima pesanan. Di atas etalase dan bagian kanan dari arah muka terdapat tumpukan kotak kertas. Nasi kotak pesanan sebanyak 70 kardus untuk hari Sabtu minggu ini.
Dengan asumsi sekotak isi komplit (nasi, lauk, sayur, perkedel, sambal, air kemasan) seharga Rp 17 ribu, maka perkiraan omzet yang akan diperoleh adalah sebesar Rp 1.190 ribu.
Pesanan itu merupakan penerimaan ekstra atas penjualan harian rata-rata yang berkisar Rp 500-700 ribu. Penerimaan kotor sebelum dikurangi bahan dan biaya langsung.
Dihitung kasar, biaya variabel diperlukan untuk membeli bumbu, ayam, ikan, daging, sayur, kelapa, dan cabai mencapai Rp 300-400 ribu per hari.
Artinya, keuntungan kotor diperoleh adalah Rp 200-300 ribu per hari.
"Lebih besar dibandingkan menjual nasi uduk dan gorengan. Hasil penjualan seminggu bisa menutup ongkos sewa."
Diketahui bahwa biaya sewa tempat adalah Rp 600 ribu dibayar setiap bulan. Pengalaman dengan produk baru itu telah berjalan selama dua minggu.
Dari pengamatan sederhana tentang reposisi produk di atas diperoleh gambaran sebagai berikut:
- Terdapat perubahan penting terhadap produk dijual, dari kopi dan gorengan menjadi masakan Padang.
- Produk dijual lebih bervariasi dengan segmentasi pasar menyasar konsumen golongan ekonomi menengah ke bawah. Harga makanan ditawarkan adalah Rp 10 ribu per-paket dengan mutu baik.
- Nilai penjualan per-paket naik dari Rp 5 ribu (asumsinya: rata-rata konsumsi per-orang adalah 5 potong gorengan atau segelas kopi dan 2 gorengan) menjadi Rp 10 ribu (harga 1 paket nasi, lauk, sambal, sayur).
- Dengan mengabaikan biaya tetap selain sewa tempat (listrik, air, penyusutan, tenaga kerja), maka alterasi produk menghasilkan pendapatan (bruto) lebih tinggi.
Ternyata reposisi produk menunjukkan hasil menggembirakan bagi pemilik/pengelola bisnis kuliner tersebut. Penjualan meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan ketika hanya menjual kopi dan gorengan.
Saya pulang setelah menghabiskan segelas kopi dan membungkus satu potong paha ayam bakar, dua perkedel, sambal hijau, gulai nangka muda, dan sayur daun singkong. Tanpa nasi. Semua ditebus dengan harga Rp 15 ribu.
Olahan tersebut menjadi teman nasi ketika bersantap-siang. Terasa enak untuk ukuran uang dikeluarkan.
Gulai nangka dan sayur daun singkong yang terlalu banyak untuk dimakan sendiri, saya sisihkan untuk nanti malam.
Catatan: pengamatan pada bisnis skala sangat kecil. Hasil akan berbeda dengan studi kasus serupa di perusahaan dengan manajemen produk lebih pelik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H