Artinya, keuntungan kotor diperoleh adalah Rp 200-300 ribu per hari.
"Lebih besar dibandingkan menjual nasi uduk dan gorengan. Hasil penjualan seminggu bisa menutup ongkos sewa."
Diketahui bahwa biaya sewa tempat adalah Rp 600 ribu dibayar setiap bulan. Pengalaman dengan produk baru itu telah berjalan selama dua minggu.
Dari pengamatan sederhana tentang reposisi produk di atas diperoleh gambaran sebagai berikut:
- Terdapat perubahan penting terhadap produk dijual, dari kopi dan gorengan menjadi masakan Padang.
- Produk dijual lebih bervariasi dengan segmentasi pasar menyasar konsumen golongan ekonomi menengah ke bawah. Harga makanan ditawarkan adalah Rp 10 ribu per-paket dengan mutu baik.
- Nilai penjualan per-paket naik dari Rp 5 ribu (asumsinya: rata-rata konsumsi per-orang adalah 5 potong gorengan atau segelas kopi dan 2 gorengan) menjadi Rp 10 ribu (harga 1 paket nasi, lauk, sambal, sayur).
- Dengan mengabaikan biaya tetap selain sewa tempat (listrik, air, penyusutan, tenaga kerja), maka alterasi produk menghasilkan pendapatan (bruto) lebih tinggi.
Ternyata reposisi produk menunjukkan hasil menggembirakan bagi pemilik/pengelola bisnis kuliner tersebut. Penjualan meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan ketika hanya menjual kopi dan gorengan.
Saya pulang setelah menghabiskan segelas kopi dan membungkus satu potong paha ayam bakar, dua perkedel, sambal hijau, gulai nangka muda, dan sayur daun singkong. Tanpa nasi. Semua ditebus dengan harga Rp 15 ribu.
Olahan tersebut menjadi teman nasi ketika bersantap-siang. Terasa enak untuk ukuran uang dikeluarkan.
Gulai nangka dan sayur daun singkong yang terlalu banyak untuk dimakan sendiri, saya sisihkan untuk nanti malam.
Catatan: pengamatan pada bisnis skala sangat kecil. Hasil akan berbeda dengan studi kasus serupa di perusahaan dengan manajemen produk lebih pelik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H